Bisnis.com, JAKARTA -- Mengirimkan hasil bumi ke pasar induk agar dapat terjual habis dengan harga tinggi merupakan harapan dari setiap pemasok komoditas hortikultura.
Mereka berharap produk yang mereka antarkan dari tangan produsen akan diterima para pedagang grosiran di pasar induk, bagaimanapun kondisi barangnya dan berapapun jumlah yang dikirim. Sesial-sialnya, mereka tidak akan mengalami rugi harga meskipun barangnya tidak laris manis di pasar.
Sayang sekali, bayangan ideal para pemasok itu tidak selalu terwujud di lapangan.
Dalam sebuah sesi diskusi pangan di Jakarta baru-baru ini, Ketua Bidang Jasa Perdagangan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Muhammad Maulana bersaksi, sistem yang tidak lazim dalam pembentukan harga produk hortikultura di Pasar Induk Kramat Jati terjadi setiap harinya.
Dalam paparannya, proses lelang tak resmi terjadi ketika truk atau angkutan produk dari daerah masuk ke pasar induk di Jakarta Timur tersebut.
Setelah membayar retribusi masuk, para pemasok atau mereka yang diwakilkan oleh pegawainya memulai transaksi dengan pedagang besar atau pengepul di pasar tersebut.
Proses seleksi awal dilakukan dengan mengecek kondisi barang—dalam hal ini terkait dengan ukuran dan tingkat kebusukan produk—oleh pihak ketiga.
Maulana berujar, pihak ketiga adalah orang-orang yang dipercaya oleh para pedagang besar sebagai penakar kualitas dan harga.
Setelah itu, pihak ketiga ini akan mencoba menentukan rentang harga sekaligus menyeleksi barang yang layak dijual, yang lalu ditawarkan ke para pedagang besar.
Apabila harga telah disepakati oleh mayoritas pedagang besar, maka produk yang lolos seleksi tersebut bakal diangkut dari pemasok.
Akan tetapi, menurut Maulana, acap kali harga yang disepakati terbilang sangat murah apabila dibandingkan dengan harga rata-rata penjualan oleh pedagang besar ke pengecer.
“Jadi para pemasok atau petani sering kali tidak tahu, produk yang mereka bawa akan dihargai berapa dan berapa duit yang bisa mereka bawa pulang nanti. Pasrah saja, rugi atau tidak itu urusan nanti. Harga kesepakatan lelang bisa berkisar antara Rp4.000—Rp8.000/kilogram dari rata-rata untuk [harga] pengecer,” katanya.
Ironisnya lagi, Maulana melihat, barang-barang yang tidak laku oleh para pedagang grosir Kramat Jati pada akhirnya harus berlabuh di tempat pembuangan akhir. Jumlahnya pun relatif besar, yakni mencapai 30% dari barang yang masuk ke pasar induk tersebut.
Selain karena sifat produk hortikultura yang cepat busuk dan minimnya proses seleksi di tingkat pemasok, terdapat pula kesepakatan tidak resmi di Pasar Induk Kramat Jati. Dalam hal ini, barang yang sudah masuk ke pasar induk tidak diperbolehkan keluar lagi. Alhasil, mau tak mau, perjalanan produk dari pemasok harus berakhir di pasar tersebut.
Namun, berdasarkan pengamatan langsung Bisnis di lokasi, sangat sulit membuktikan adanya praktik lelang atau penetapan harga yang tidak lazim pada produk hortikultura yang diantar pemasok. Pasalnya, begitu truk pemasok datang pada dini hari, para pedagang besar maupun kecil di Pasar Induk Kramat Jati akan langsung menghampiri.
Proses transaksi pun relatif cepat, berikut pemindahan barang dari truk. Beberapa pemasok sayur dari Bogor mengakui, tidak semua produk akan terjual habis pada pagi hari.
Biasanya, mereka akan menunggu hingga pukul 12:00 WIB, sebelum akhirnya membanting harga jual produknya yang tersisa, hingga 50% dari harga jual pada pagi hari. Apabila sayur terlanjur layu atau busuk, pilihan terakhir—yakni dengan membuangnya—pun terpaksa harus diambil.
JAMINAN PASOKAN
Klaim berbeda meluncur dari bibir Asisten Manager Usaha dan Pengembangan PD Pasar Jaya Pasar Induk Kramat Jati Syarif Hidayatullah. Dia memastikan, kesepakatan harga biasanya telah terjadi antara pemasok dan pedagang besar di Kramat Jati, sebelum produk hortikultura dikirim.
Dijelaskan olehnya, proses tawar menawar biasanya terjadi melalui sambungan telepon sebelum barang dikirim. Selanjutnya, ketika diperoleh harga yang disepakati, barang baru masuk ke pasar induk. Dia pun menampik adanya proses lelang produk, yang baru dilakukan ketika barang sudah masuk.
“Pedagang besar di Kramat Jati juga ingin stok mereka aman. Karena kalau mereka menawar terlalu rendah ke pemasok, barang akan lari ke pasar induk lain, seperti di Cibitung dan Tanah Tinggi,” ujarnya.
Pasalnya, keluhan dari pedagang pasar kerap ditemuinya. Keluhan itu berupa kegagalan mereka mendapatkan barang meskipun telah terjadi kesepakatan awal dengan pemasok.
Menurutnya, praktik nakal justru kerap terjadi ketika truk pengangkut mulai memasuki kawasan Jakarta. Sopir atau pemasok sering melakukan penawaran ulang atau justru mengirimkan barangnya ke pasar induk lain, ketika mendapat tawaran harga yang lebih tinggi dari para pedagang pasar di luar Kramat Jati.
Alhasil, para pedagang terpaksa menaikkan harga belinya, dengan tujuan menjaga pasokan mereka. Akibatnya, produk yang dijual ke konsumen—terutama buah-buahan—menjadi lebih mahal, karena rerata pedagang besar mengambil margin keuntungan Rp2.000—Rp5.000 per kilogramnya.
Dia juga menampik adanya praktik tak resmi yang melarang barang yang sudah masuk ke Kramat Jati dibawa keluar kembali ketika tidak laku.
Sementara itu, banyaknya barang yang berakhir di tempat sampah, disebutnya terjadi karena rendahnya proses seleksi produk di tingkat hulu atau petani.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi dalam risetnya menyatakan, instrumen yang jelas untuk mengatur proses distribusi produk hortikultura secara keseluruhan dari petani hingga konsumen sangat dibutuhkan.
Jika tidak, maka praktik pembentukan harga yang tak lazim di pasar induk akan terus terjadi, sementara panjangnya rantai distribusi akan terus menjadi persoalan klasik.
“Pada akhirnya, tidak akan muncul harga yang layak mulai dari petani, pemasok, penjual grosir dan eceran hingga konsumen,” tegasnya.
Apabila persoalan tersebut tak segera dipecahkan, selamanya pula persepsi harga di tingkat petani yang terlalu rendah, harga di konsumen terlalu tinggi, dan permainan kartel hortikultura akan terus mengemuka.