Bisnis.com, JAKARTA — Posisi Indonesia kian sulit terkait dengan sengketa dagang melawan Amerika Serikat (AS) soal pembatasan impor produk hortikultura serta hewan dan produk hewan yang akan mulai dibahas di WTO pada Rabu (15/8) waktu setempat.
Sengketa dagang hortikultura dengan AS menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (10/8/2018). Berikut Laporannya.
RI terdesak pada dua pilihan antara terus melakukan perlawanan yang bisa saja berujung pada tindakan pembalasan (retaliasi) yang lebih berat atau menerima pengajuan sanksi dagang dari Amerika Serikat senilai US$350 juta.
Dalam dokumen yang diperoleh Bisnis, Pemerintah Indonesia sebetulnya telah membuat simulasi dampak bagi produk ekspor Indonesia jika RI tetap melawan AS di WTO. Salah satunya adalah ancaman penurunan ekspor atas sejumlah produk. (Lihat infografis)
Di sisi lain, jika Indonesia 'mengalah' dan menerima sanksi Organisasi Perdagangan Dunia, RI hanya akan membayar denda senilai US$350 juta atau sekitar Rp5,05 triliun. Angka tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan potensi penurunan ekspor yang harus dialami oleh Indonesia jika terus melakukan perlawanan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor RI ke Negeri Paman Sam sepanjang Januari—Mei 2018, mencapai US$7,78 miliar atau tumbuh 5,51% secara year on year. AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, Indonesia sebaiknya menerima sanksi dagang dari AS, apabila resmi diputuskan bersalah oleh WTO.
Apabila melakukan perlawanan, kata Jose, RI berpotensi mengalami kerugian lebih besar karena berseteru dagang dengan negara yang kini juga berseteru dengan China dan Uni Eropa.
“Jadi secara strategis, sebaiknya kita ‘okeoke’ saja lah jika akhirnya AS diizinkan WTO untuk memberikan sanksi dagang pada Indonesia. Sebab, secara hubungan kerja sama perdagangan, kita lebih butuh AS dibandingkan dengan sebaliknya,” katanya, Kamis (9/8/2018).
Yose menilai, secara hitung-hitungan, Indonesia lebih ‘beruntung’ jika nantinya dikenai sanksi dagang oleh AS sebesar US$350 juta per tahun. Pasalnya, skema pemberian sanksi dagang melalui WTO lebih terukur dibandingkan dengan sanksi dagang secara sepihak oleh AS.
Selain itu, Yose memperkirakan AS tidak akan benar-benar melakukan retaliasi ke Indonesia, kendati mendapatkan persetujuan dari WTO. Pasalnya, AS masih memiliki kepentingan ekonomis yang besar terhadap Tanah Air.
Sebaliknya, jika RI melakukan perlawanan, AS akan menaikkan bea masuk terhadap produk-produk ekspor asal Indonesia berupa barang jadi, alih-alih bahan baku. Sebab, Paman Sam akan lebih mudah mencari substitusi pemasok barang jadi, seperti dari Vietnam dan Bangladesh.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menjelaskan pemerintah harus mengevaluasi upaya penyesuaian aturan impor hortikultura yang digugat AS.
“Ketika eksportir AS mengaku masih kesulitan mengurus izin ekspor ke Indonesia, sementara pemerintah [RI] mengaku sudah merevisi aturan hortikultura terkait, berarti janganjangan ada yang bermasalah di sisi kita [Indonesia]. Perlu kita telaah lebih dalam.”
Akan tetapi, apabila dalam proses evaluasi tersebut, Indonesia terbukti sudah merevisi aturan sesuai dengan permintaan AS tetapi tetap dinyatakan bersalah oleh WTO, maka dia mendesak agar pemerintah mengajukan banding.
PENGUSAHA PASRAH
Ada pun, Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia, Benny Soetrisno khawatir, kinerja ekspor RI akan tertekan.
“Putusan ini tergantung pada diplomasi kita [RI] ke mereka [AS]. Sebab Indonesia ini kecil bagi mereka, tetapi mereka besar bagi Indonesia,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengaku cukup heran dengan sikap AS di WTO. Pasalnya, saat delegasi dagang yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berkunjung ke Washington pada 24—27 Juli 2018, Indonesia telah membuktikan perubahan terhadap 18 aturan impor sebagaimana diminta AS.
“Akan tetapi kalau Indonesia benar dikenai sanksi, kita harus follow up dengan strategi dagang lain. Indonesia menginisiasi pakta dagang preferential trade agreement dengan Paman Sam.”