Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menilai tuntutan lanjutan AS untuk menjatuhkan sanksi senilai US$350 juta per tahun terhadap Indonesia disebabkan oleh ketidakpuasan AS terhadap langkah yang ditempuh Indonesia.
Di sisi lain, lanjutnya, para eksportir hortikultura AS juga masih kesulitan dalam memperoleh izin ekspor ke Indonesia.
“Pemerintah harus paham, AS tidak bisa menetapkan nilai denda begitu saja. Sebab, putusan denda ini masih harus dibahas di badan sengketa WTO pada 15 Agustus nanti. Bisa jadi kita punya argumen kuat agar nilai denda tidak sebesar itu,” katanya, Selasa (7/8/2018).
Dia melanjutkan, apabila AS kembali berhasil memenangkan pembahasan di badan sengketa WTO, besaran denda baru dapat dijatuhkan ke Indonesia jika telah melalui compliance panel WTO.
Di sisi lain dia juga meminta agar pemerintah lebih proaktif untuk menjelaskan proses perubahan aturan sesuai putusan WTO ke AS. Sebab, menurutnya bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan aturan di dalam negeri, yang menyangkut kepentingan domestik.
Shinta menilai, langkah AS ini dapat diikuti oleh Selandia Baru, yang secara kebetulan bersamaan mengajukan gugatan kepada Indonesia pada 2016. Kala itu Selandia Baru menganggap pembatasan impor daging sapi Indonesia dinilai tidak adil. Hanya saja, saat ini negara tersebut belum melakukan gugatan
Sementara itu, Pakar Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori menilai Pemerintah Indonesia harus menjelaskan aturan yang belum diubah oleh Indonesia beserta argumennya kepada WTO dan AS. Apabila tidak dilakukan, lanjutnya, akan membuat AS semakin meradang dan rawan diikuti oleh negara lain.
“Indonesia harus jelaskan kenapa AS dan Selandia Baru diberlakukan secara berbeda dengan negara lain pada 2013-2015 lalu,” ujarnya.
Dia pun memperingatkan, jika Indonesia tidak segera berperan lebih aktif, aksi tuntutan serupa akan dilakukan oleh sejumlah negara seperti Brazil, Australia, Singapura dan Kanada. Pasalnya, negara-negara itu menilai ada kejanggalan dalam peraturan impor hortikultura Tanah Air.
Senada pengamat pertanian yang juga mantan Wamendag RI Bayu Krisnamurthi meminta pemerinath harus mencermati secara serius tuntutan AS. Sebab, dia memperkirakan, Washinton juga akan memberlakukan retaliasi kepada Indonesia di sektor lain.
“Artinya, pemerintah harus cabut aturan yang dipersengketakan dan dinyatakan kalah di WTO. Jika tidak, negara lain sangat mungkin ikut lakukan retaliasi ke Indonesia,” paparnya.
Seperti dikutip dari laporan yang masuk ke WTO, Senin (6/8/2018), Paman Sam berusaha menagih ganti rugi atas pembatasan impor produk hortikultura Indonesia dari AS. Penagihan tersebut merupakan tindak lanjut atas kemenangan AS dalam proses banding yang diajukan Indonesia pada November 2017 lalu.
Kala itu, Dewan Banding WTO (Appelate Body) memutuskan 18 aturan pembatasan impor yang dibuat Indonesia tidak sesuai dengan dengan General Agreement on Tariffs and Trade tahun 1994 (GATT 1994). Alhasil, Indonesia diwajibkan merevisi lima undang-undang yang mengatur mengenai 18 aturan pembatasan impor tersebut, paling lambat 22 Juli 2018.
Kelima UU tersebut adalah UU No. 13/2014 tentang hortikultura, UU No. 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, UU No. 18/2012 tentang pangan, UU No. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, dan UU No. 7/2014 tentang perdagangan.
Aturan di atas di antaranya mengatur mengenai penerapan kuota impor, pembatasan masa berlaku Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), kewajiban realisasi izin impor dan masa panen produk yang diekspor ke Indonesia. Untuk sektor peternakan, gugatan ditujukan pada aturan rentang penerbitan izin impor, kewajiban serap lokal, serta pembatasan jenis daging boleh dimpor Indonesia.
Akan tetapi, AS menilai Indonesia gagal melakukan perubahan aturan sesuai dengan putusan WTO. AS berdalih, akibat kesengajaan Indonesia tersebut, mereka mengalami kerugian US$350 juta pada 2017.
Perhitungan tersebut didasarkan pada kerugian akibat pembatasan impor Indonesia pada komoditas apel, anggur, kentang, bawang bombay, bunga, jus, buah-buahan kering, hewan ternak, ayam, dan daging.
Untuk itu Washington meminta kerugian tersebut dijadikan nilai denda untuk Indonesia. Denda itu akan terus ditagih setiap tahunnya kepada Indonesia, selama pemerintah belum melakukan perubahan sesuai putusan WTO.