Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta tegas dalam menentukan sikap terkait devisa hasil ekspor (DHE). Sejauh ini aturan yang mengatur DHE terkesan setengah hati.
Direktur Penelitian Core Indonesia, Piter Abdullah, mengungkapkan aturan DHE selama ini terkesan ‘malu-malu’. Pasalnya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai DHE hanya mewajibkan eksportir menaruh uangnya di Indonesia, tapi tidak mengkonversikannya ke rupiah.
"Kebijakan BI tak berani secara tegas mengatakan kewajiban mengubah ke rupiah, karena terkendala pada UU tentang Lalu Lintas Devisa yang mengatakan kita itu devisa bebas," jelasnya kepada Bisnis pada Selasa (31/7/2018).
Selain itu, dia mengungkapkan salah satu alasan tidak ditukarnya DHE ke rupiah adalah pelemahan rupiah itu sendiri, karena dengan ditukar ke rupiah dan saat akan dipergunakan lagi, devisa tersebut bisa berkurang nilainya.
Menurutnya, langkah mewajibkan menaruh cadev DHE di domestic compulsory surrender (menyerahkan hasil devisanya di dalam negeri) merupakan langkah yang seharusnya diambil sejak dahulu.
Piter pun melanjutkan pelaksanaanya tidak bisa dilakukan secara membabi buta, tetapi harus terukur. Dia mencontohkan kewajiban ini diterapkan kepada BUMN atau perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam (SDA) seperti tambang. "Izin tambang ada di pemerintah, bisa saja izinnya dicabut kalau tidak menyerahkan DHE."
Dia melanjutkan saat ini aturan yang ada tidak membuat eksportir wajib menyerahkan devisanya. Saat ini baru sekedar menaruh di dalam negeri 6 bulan, sesudah itu bebas mau dikemanakan valas tersebut.
Dengan demikian, menurutnya, kebijakan ini tidak menambah suplai cadangan devisa karena tidak ada kewajiban menukarkannya ke rupiah.
Dia menuturkan seharusnya memang aturan yang ada itu dibuat mengikat dan tegas bahwa DHE harus disimpan di dalam negeri dan dikonversikan ke rupiah.
Sementara, dalam pandangannya, pemerintah tidak dapat memaksa menurunkan biaya hedging sebagai insentif bagi eksportir yang menukarkan dolarnya ke rupiah sebab mekanisme hedging itu dikembalikan ke pasar dan tidak diatur pemerintah.
"Kalau untuk cost hedging pemerintah sulit mengaturnya, karena itu mengikuti mekanisme pasar. Biaya risiko itu tidak bisa diatur pemerintah kecuali pemerintah yang membiayai risiko itu," ungkapnya.
Dia meneruskan selama biaya hedging itu berkaitan dengan nilai tukar, kalau nilai tukarnya flat, biaya hedging pasti rendah, tapi kalau nilai tukarnya fluktuasi tinggi biayanya juga tinggi.