Bisnis.com, MAKASSAR -- Ekonomi kreatif sudah diakui memberi kontribusi terhadap APBN, tapi pengawasannya belum maksimal karena belum ada payung hukumnya.
Oleh karena itu, Komisi X DPR RI saat ini mendorong pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Ekonomi Kreatif (RUU Ekraf). Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih saat melakukan kunjungan ke kantor Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Senin (30/7/2018).
"Perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia saat ini sudah bisa memberi dampak positif untuk pendapatan negara. Hanya saja payung hukumnya belum ada," tuturnya.
Melalui regulasi itu, pengembangan ekonomi kreatif dinilai bisa lebih dimaksimalkan, khususnya dalam bidang anggaran. Menurut Abdul Fikri, UU Ekraf saat ini seharusnya sudah menjadi kebutuhan yang nantinya bisa menjadi dasar hukum.
Selama ini, keberadaan ekonomi kreatif masih berada di bawah naungan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) tanpa payung hukum yang kuat.
"Jika sudah ada UU Ekraf, nanti bisa memperkuat posisi Bekraf. Pegaruhnya jadi bisa lebih luas," tambah anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Berdasarkan data Bekraf, ada 16 subsektor industri ekonomi kreatif di Indonesia. Beberapa di antaranya baru berkembang seperti subsektor kuliner, fesyen, dan kerajinan tangan.
Sementara itu, untuk industri seperti musik, film, dan desain masih dalam tahap pengurusan.
Meski masih dalam tahap pembahasan, Komisi X DPR RI menargetkan pembahasan tersebut rampung pada 2018.