Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LOBI-LOBI GSP: Bijaksanakah Kemudahan Impor Produk Agrikultur yang Ditawarkan ke AS?

Strategi Indonesia yang akan menawarkan kemudahan akses impor sejumlah komoditas agrikultur dari Amerika Serikat sebagai barter untuk mempertahankan fasilitas GSP dinilai tidak bijak.
Buah impor. /Bisnis.com
Buah impor. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA — Strategi Indonesia yang akan menawarkan kemudahan akses impor sejumlah komoditas agrikultur dari Amerika Serikat sebagai ‘barter’ untuk mempertahankan fasilitas GSP dinilai tidak bijak.

Berdasarkan pembahasan dalam rapat terbatas Antisipasi Review Amerika Serikat terhadap generalized system of preferences (GSP) Indonesia yang diungkapkan oleh sumber Bisnis, RI berniat menawarkan kemudahan akses bagi 30 barang dan jasa dari Amerika Serikat (AS).

Termasuk dalam daftar 30 produk yang akan ditawarkan Pemerintah Indonesia ke Paman Sam pada negosiasi GSP di Washington pekan ini adalah gandum, kurma, apel, anggur, susu, dan lemon.

Produk-produk lainnya ditengarai masih berkaitan dengan komoditas agrikultur. Adapun, jika menilik laporan U.S. Census Bureau Trade Data, nilai ekspor produk agrikultur AS ke Tanah Air mengalami tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir.  (Lihat grafis)

Pada 2015 nilainya mencapai US$2,25 miliar, 2016 menembus US$2,75 miliar, dan tahun lalu menyentuh US$2,95 miliar. Sepanjang Januari—Mei 2018 saja, nilai ekspor produk agrikultur AS ke RI sudah mencapai US$1,32 miliar.

Artinya, angka impor produk agrikultur dari AS jauh lebih tinggi ketimbang nilai barang-barang ekspor RI penikmat fasilitas GSP yang totalnya hanya US$1,8 miliar pada 2016 dan US$1,95 miliar pada 2017.

Untuk itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Hasan memperingatkan agar pemerintah mewaspadai lonjakan impor agrikultur dari AS. Menurutnya, surplus neraca perdagangan agrikultur yang selama ini diklaim oleh RI terhadap AS bisa saja berbalik.

“Bukan tidak mungkin jika hambatan dagang [terhadap produk agrikultur AS] dilonggarkan, akan membuat Indonesia defisit. Terlebih agrikultur memang menjadi fokus besar dari Presiden AS Donald Trump untuk digenjot ekspornya,” ujarnya, Senin (23/7).

Dia juga berpendapat permintaan RI (di sela-sela negosiasi GSP) untuk melonggarkan bea masuk baja (25%) dan aluminium (10%) di AS akan sulit tercapai. Pasalnya, Trump sedang mati-matian melindungi sektor tersebut di dalam negeri.

Sementara itu, pakar pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori memperingatkan pelonggaran impor produk agrikultur dari AS jangan sampai menggerus produk substitusi yang dibuat di dalam negeri.

Dia mencontohkan, tepung singkong diharapkan mampu mengimbangi kebutuhan pasar terhadap gandum impor. “Produk tepung singkong dikenai PPN, sementara gandum impor justru tidak. Kebijakan ini kan memberatkan, apalagi nanti jika pintu impor gandum diperlebar.”

SESUAI KEBUTUHAN

Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan tidak menampik strategi tersebut. Menurutnya, kebijakan itu sudah diperhitungkan agar sesuai dengan kebutuhan produk agrikultur yang harus dicukupi dari AS.

“Bisa saja [hambatan impor dikurangi dan impor produk agrikultur dari AS ditambah]. Kita memang butuh selama ini dari AS, [jadi kebijakan itu] bukan masalah,” ujarnya kepada Bisnis.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai pelonggaran akses produk agrikultur AS bukan menjadi masalah, apabila dilakukan untuk mendapatkan perpanjangan fasilitas GSP.

“Hanya saja, selain GSP, pemerintah juga harus meminta ke AS untuk melonggarkan hambatan dagang mereka atas produk dari Indonesia, seperti baja dan aluminium,” ujarnya.

Senada, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P. Roeslani  menyebutkan persoalan akses pasar produk agrikultur AS di Indonesia memang menjadi salah satu topik yang disorot oleh Washington.

Dengan demikian, lanjutnya, solusi yang ditawarkan oleh Kemendag tersebut merupakan langkah yang tepat demi mempertahankan GSP.

“Rencana tersebut fair saja menurut saya. Produk-produk [agrikulutur] yang akan ditawarkan ke AS memang pada dasarnya dibutuhkan oleh Indonesia dan produsen terbaiknya adalah AS,” ujarnya.

Terkait dengan timpangnya nilai ekspor yang diperoleh Indonesia melalui GSP dibandingkan dengan nilai impor produk agrikultur dari AS, Rosan menganggap hal tersebut bukan menjadi masalah yang besar bagi RI.

Pasalnya, dengan adanya GSP, sejumlah produk ekspor Tanah Air yang mendapatkan fasilitas tersebut mampu bersaing dengan baik di pasar internasional. Sebaliknya, produk impor agrikultur asal AS memang  sangat dibutuhkan oleh konsumen Indonesia.

Keluhan mengenai masih adanya hambatan dagang nontarif terhadap produk agrikultur disampaikan secara langsung oleh Wakil Menteri Pertanian Bidang Perdagangan Luar Negeri AS Ted McKinney dalam kunjungannya ke Indonesia pekan lalu. (Bisnis, 19/7)

Kala itu dia meminta adanya komunikasi yang lebih dalam antara AS dengan Indonesia untuk mengatasi persoalan tersebut. Kendati demikian, dia enggan untuk memaparkan hambatan dagang di sektor agrikultur yang dimaksudnya.

Untuk diketahui, dalam negosiasi peninjauan ulang eligibilitas GSP—yang berlangsung sejak 13 April 2018 dan memasuki tahapan dengar publik pada 18 Juli 2018—AS memang meminta Indonesia untuk memastikan akses produk agrikultur, terutama kedelai.

Padahal, Kementerian Pertanian RI mendorong agar impor kedelai dikenai bea masuk 10%—20% guna mengatrol penggunaan kedelai lokal. Akibatnya, impor kedelai dari AS kian merosot. Pada 2016 mencapai US$989,2 miliar, tetapi tahun lalu hanya US$920,5 miliar.

Negosiasi RI untuk mempertahankan GSP berlangsung di Washington pada 23—27 Juli melalui pertemuan dengan United States Trade Representative (USTR), Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, dan Kamar Dagang AS.

Pertemuan itu dipimpin oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, yang memboyong perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI), dan Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI).

Selain itu juga; Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), produsen ban mobil, minyak sawit, boga bahari, baja, aluminium, dan makanan minuman (mamin).

 

 

Informasi umum:

Negara pengguna GSP: 121 negara

Jumlah produk penerima GSP: 5.059 produk

Untuk negara berkembang: 3.569 produk

Untuk negara tertinggal: 1.490 produk

Indonesia:

-          700 produk (HS8 digit) Indonesia adalah pengguna GSP.

-          10,7% (US$1,9 miliar) ekspor RI ke AS pada 2017 menggunakan GSP.

 

Solusi RI untuk Mempertahankan GSP:

  1. Mengajak dialog AS.
  2. Merevisi regulasi yang menghambat perdagangan dan investasi AS di Indonesia.
  3. Mengimplementasikan work plan on IPR, menguatkan payung hukum IPR, dan reaktivasi Timnas PPHKI.
  4. Menawarkan kemudahan akses bagi 30 produk barang dan jasa AS, termasuk gandum, kurma, apel, anggur, susu, dan lemon.

 

Negara Pengguna GSP Terbesar (2017)

-----------------------------------------------------

Negara            Nilai GSP (miliar US$)

-----------------------------------------------------

India                6,0

Thailand          4,2

Brasil               2,5

Indonesia        1,95

Turki                1,70

Total               21,2

-----------------------------------------------------

 

Produk RI Pengguna Fasilitas GSP Terbesar

-------------------------------------------------------

Komoditas                  Nilai GSP (juta US$)

-------------------------------------------------------

Ban truk                      155

Kawat kendaraan        78,8

Emas                           78,7

Asam lemak                76,9

Perhiasan logam          72,3

Sarung tangan             66,3

Alat musik                   55,8

Pengeras suara             33,3

Alat musik keyboard   30,9

Baterai                         30,4    

-------------------------------------------------------

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2018

 

Beberapa Ekspor Produk Agrikultur AS ke Indonesia (juta US$)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Komoditas                  2013    2014                2015    2016    2017    2018(Januari—Mei)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kedelai                        984,0   1.030,0            772,9   989,2   920,5   395,5

Kapas                          288,0   325,7               295,3   346,0   497,9   343,2

Gandum                      214,0   260,9               105,2   192,2   297,9   45,7

Biji-bijian,                               

pakan ternak

dan barang

penolong lain               564,0   503,4               423,3   485,2   553,6   184,9                 

Produk susu                316,0   274,9               183,0   158,3   132,1   80,0

Buah segar                  71,0     93,4                 64,2     81,5     64,3     15,5

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Total                           2.896,0            2.983,8    2.259,0    2.754,3    2.958,8    1.326,6

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber: U.S. Census Bureau Trade Data, 2018

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper