Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri minuman ringan masih optimistis bakal meraih kinerja positif pada akhir tahun. Keyakinan ini didorong oleh kenaikan permintaan selama kuartal II.
Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Pridjosoesilo mengatakan sepanjang tahun lalu industri ini mengalami penurunan yang diperkirakan karena pelemahan daya beli.
Dalam catatan asosiasi, volume produksi industri minuman ringan pabrikan lokal pada 2017 sebesar 34,41 miliar liter atau lebih kecil dibandingkan dengan capaian 2016 sebesar 43,76 miliar liter.
Total produksi tersebut adalah golongan minuman ringan yang termasuk dalam kategori nonalcoholic ready to drink (NARTD), seperti produk susu, jus, kopi, teh dan variannya. Namun, sepanjang semester I tahun ini permintaan mulai positif kembali, kendati tidak terlalu tinggi.
"Kuartal I masih stagnan, setelah lebaran tumbuh 2%, sehingga semester I ini sekitar 1% tumbuhnya. Kami optimistis masih bisa positif di akhir tahun, sekitar 2%--3%," ujarnya di Jakarta belum lama ini.
Kendati mulai menunjukkan pertumbuhan permintaan, Triyono menyatakan kinerja industri minuman ringan belum dapat kembali seperti tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 8% hingga double digit. Industri ini mengalami kontraksi paling dalam sepanjang tahun lalu dengan penurunan penjualan.
Daya Beli
Menurut Triyono, selain faktor daya beli masyarakat, kinerja penjualan minuman ringan juga dipengaruhi oleh perubahan konsumsi masyarakat. Saat ini, masyarakat memilih mengalokasikan dana untuk kebutuhan lain yang dianggap lebih penting, seperti telekomunikasi dan wisata.
"Pendapatan tidak membesar, padahal pengeluaran meningkat. Ujung-ujungnya spending harus direalokasi, ini yang mungkin mengubah pola konsumsi masyarakat," jelasnya.
Lebih jauh, dia menyebutkan perlambatan konsumsi masyarakat turut mempengaruhi produksi pabrikan minuman ringan. Apabila stok di pedagang atau pasar ritel masih cukup banyak, produsen bakal melakukan penyesuaian kecepatan dan kapasitas produksi.
Lebaran
Sementara itu, pelaku industri air minum dalam kemasan (AMDK) mengandalkan momen Lebaran, pilkada, dan liburan akhir tahun untuk mendorong pertumbuhan penjualan tahun ini.
Rachmat Hidayat, Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), mengatakan pada awal tahun permintaan AMDK masih sama dengan kondisi kuartal akhir tahun lalu. Pertumbuhan diharapkan mulai terasa pada tiga momen tersebut dan target penjualan sepanjang 2018 bisa tercapai.
Sepanjang tahun ini industri AMDK diproyeksikan tumbuh sekitar 9% secara tahunan. Angka ini sejalan dengan target pertumbuhan sektor makanan dan minuman pada tahun ini sekitar 10%.
Terkait dengan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, Rachmat menyatakan dampaknya tidak terlalu terasa di industri AMDK karena porsi impor bahan bakunya kecil. Aspek yang terdampak dari pelemahan rupiah hanya depresiasi mesin dan kemasan yang masih diimpor.
"Biasanya impor kontrak, 3 bulan atau 6 bulan, sehingga dampak tidak terasa langsng. Baru ketika kontrak habis dan rupiah melemah, kami akan menanggung beban kurs," jelasnya.
Karena tidak terlalu tertekan oleh pelemahan rupiah, industri AMDK tidak akan melakukan evaluasi harga seperti industri mamin lainnya. Adapun, sepanjang 2017 penjualan AMDK tercatat sekitar 27 miliar liter atau melampaui target awal tahun sebesar 25 miliar liter.
Tingkat utilisasi pabrikan juga masih tinggi dibandingkan dengan industri lainnya, yaitu berada di kisaran 80% hingga 90%.