Bisnis.com, JAKARTA — Uni Eropa melobi Indonesia untuk melebarkan akses terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah (government procurement) kedua negara, sebagai salah satu poin dalam perundingan Indonesia-Uni Eropa CEPA.
Direktur Jenderal Perundingan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, topik tersebut menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dalam perundingan putaran ke-5 Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) pada 9—13 Juli.
Menurutnya, kedua negara dalam perundingan tersebut, mencapai tahap kesepakatan awal untuk membuka akses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
“Awalnya kami sulit menerima permintaan Uni Eropa [UE]. Namun, karena dalam perundingan tersebut hadir pula LKPP Indonesia, dan mereka yang paham mengenai detil government procurement, maka tercapailah kesepakatan awal,” ujar Iman akhir pekan lalu.
Saat ini, rancangan kesepakatan awal tersebut telah dikembalikan ke masing-masing negara. Nantinya RI dan UE akan kembali membawa proposal mengenai topik tersebut untuk kembali dinegosiasikan dalam perundingan putaran ke-6.
Iman mengatakan, saat ini fokus Indonesia adalah menyiapkan skema yang dapat melindungi dan memberikan akses yang luas kepada sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dalam negeri agar dapat bersaing dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah UE.
Di sisi lain, Direktur Pengembangan Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Gusmelinda Rahmi mengatakan, UE meminta agar pemerintah masing-masing negara membantu mengeliminasi alur administrasi bagi UKM dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui e-procurement.
UE juga meminta agar pemerintah membagi kontrak pengadaan menjadi lot. Hal itu dilakukan agar UKM dapat mengikuti proses pengadaan barang dan jasa sesuai spesifikasi bisnis masing-masing UKM.
Selain itu, Benua Biru meminta RI memastikan tidak ada diskriminasi antara perusahaan besar dan UKM sebagai pihak penyedian barang dan jasa. Langkah tersebut diyakini akan membuka peluang agar usaha kecil dapat ikut serta dalam proses tersebut.
“Perlu analisis pasar yang kuat, untuk itu masing-masing negara saat ini sedang menyusun ketentuan dan keinginan mereka untuk kembali dinegosiasikan,” katanya.
Dia mengungkapkan persoalan lain yang perlu dicermati kedua belah pihak adalah batasan pengadaan untuk UKM di masing-masing negara yang berbeda.
Di Indonesia batasan pengadaan untuk usaha kecil dibatasi hingga Rp2,5 miliar, sedangkan untuk UE dibatasi hanya 80.000 euro atau kurang lebih Rp1,1 miliar.
Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan pelarangan diskriminasi terhadap perusahaan atau pemilik bisnis khususnya UKM dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah justru akan merugikan ekonomi nasional.
“Ketentuan itu akan mempersempit dan menghambat peningkatan daya saing industri lokal di dalam negeri,” ujar Rachmi.
Selain itu, dia mengkritisi pembahasan liberalisasi di sektor investasi, perlindungan investor asing, dan pilihan mekanisme sengketa. Ketentuan tersebut diyakininya akan menekan kemampuan pemerintah dalam memberlakukan pengawasan dan pembatasan terhadap investasi asing.