Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia, Abupi, berpendapat Pelabuhan Patimban seharusnya bukan sekadar menjadi alternatif Tanjung Priok melainkan pelabuhan utama yang mendukung kawasan industri di sekitarnya.
Ketua Umum Abupi Aulia Febrial Fatwa mengatakan posisi Patimban di Subang, Jawa Barat, didukung oleh daerah pengaruh (hinterland) berupa kawasan industri di Cikarang hingga Purwakarta. Kawasan itu selama ini memasok 40% volume kontainer yang masuk ke Priok.
"Tanjung Priok itu sudah tidak bisa dikembangkan lagi karena hinterland sudah menjadi kawasan komersial, seperti mal, apartemen, seperti area Sunter, Kelapa Gading, Pluit, dan sekitarnya," katanya, Senin (9/7/2018).
Menurut dia, agar optimal, Patimban semestinya dikelola oleh badan usaha pelabuhan swasta murni, bukan oleh PT Pelindo II (Persero) beserta anak perusahaannya.
"Kalau Pelindo II yang kelola Patimban, maka fungsi Patimban tidak akan bisa penuh mendukung kawasan hinterland tersebut [Cikarang hingga Purwakarta]," ujar Aulia yang juga anggota direksi Marunda Center Terminal-PT Pelabuhan Tegar Indonesia itu.
Kementerian Perhubungan mengumumkan pembangunan proyek Pelabuhan Patimban tahap I akan dimulai bulan ini dan diharapkan beroperasi 2019.
Seperti diberitakan Bisnis Indonesia (9/7), tahap pertama mencakup kapasitas bongkar-muat peti kemas 3,5 juta twenty-foot equivalent units (TEU's) dan 600.000 unit kendaraan bermotor (CBU).
Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus H. Purnomo mengatakan pelabuhan akan fokus pada kegiatan ekspor otomotif jika beroperasi tahun depan.
Keberadaan pelabuhan diyakini mengurangi biaya logistik karena mendekatkan pusat produksi kendaraan bermotor di Karawang dengan pelabuhan. Barang otomotif itu nantinya diangkut menggunakan kapal kargo.
Pelabuhan Patimban merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) dengan nilai investasi seluruh tahap mencapai Rp43,5 triliun. Pembangunan didanai pinjaman Official Development Assistance (ODA loan) pemerintah Jepang.
Kontraktor pemenang proyek merupakan konsorsium lima perusahaan, yang terdiri atas tiga perusahaan Jepang, yakni Penta Ocean Construction Co. Ltd., Toa Corporation, dan Rinkai Construction Co. Ltd., serta dua perusahaan pelat merah Indonesia, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Proyek senilai Rp43,5 triliun itu akan dibangun bertahap. Setelah tahap I beroperasi, kapasitas pelayanan secara berangsur akan ditingkatkan menjadi 5,5 juta TEU's pada tahap II dan 7,5 juta TEU's pada tahap III.