Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah menyakini dengan pelonggaran LTV akan mendorong kepemilikan rumah MBR serta gairah investor dalam sektor properti.
Pasalnya cakupan target satu juta rumah tak hanya menghitung dari besaran rumah MBR saja.
Direktur Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan dengan diberlakukanya relaksasi LTV akan meningkatkan kesempatan kepada masyarakat dalam memenuhi rumah pertama melalui KPR. Sebab dengan semakin longgar atau besar ratio LTV semakin kecil uang muka yang harus dipenuhi konsumen sehingga dapat menghitung daya beli.
Kebijakan kelonggaran mengenai rasio LTV lanjut dia juga tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya kebijakan pendukung lain.
“Selain kebijakan mengenai rasio LTV, juga terdapat kebijakan pelonggaran uang muka pelunasan rumah atau DP, di mana keduanya juga sama-sama terkait dengan penyediaan perumahan bagi MBR,”katanya kepada Bisnis Rabu (4/7/2018).
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUR) mencatat pencapaian program sejuta rumah hingga awal Juli 2018 mencapai 435.906 unit.
Baca Juga
Jumlah itu sebut dia masih sesuai rencana awal, namun teap diperlukan percepatan khususnya untuk program rumah subsidi seperti FLPP dan SSB yang diharapkan berjalan normal kembali.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengungkapkan, kebijakan BI memang lebih berdampak kepada penjualan rumah komersial. Sebab tidak berlaku untuk KPR Bersubsidi seperti FLPP.
Menurut Lana saat ini DP rumah subsidi belum diperlukan untuk dibebaskan seperti rumah komersial. Pasalnya Menengok saat membeli rumah subsidi, masyarakat sudah diberikan banyak kringanan lewat program pemerintah yang telah berjalan.
“Membeli rumah subsidi itu sudah ada keringanan DP-nya sendiri, seperti ada 1%, 5%, tergantung bank-nya. Harga juga di bawah Rp 150 juta. Ketika beli ada SBUM sekitar Rp 4 juta, sudah ada insentif tersendiri juga,”ungkapnya.
Associate Director Investment Service Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi menekankan konsumen sebenarnya butuh bunga KPR rendah dan jangka waktu cicilan yang panjang ketimbang DP 0 Rupiah.
Dengan demikian, justru kebijakan relaksasi dari BI tak akan berpengaruh banyak terhadap kelas menengah bawah. Sebab kata dia dengan kebijakan ini, konsumen justru terbebani cicilan tinggi setiap bulannya karena mereka dibebaskan dari membayar uang muka atau down payment (DP).
Padahal di sisi lain, tenor atau jangka waktu kredit maksimal hanya 15 tahun -20 tahun dengan suku bunga yang masih terhitung tinggi.
“Semestinya concern BI itu, amortisasi tenor hingga maksimum 30 tahun, dan suku bunga rendah. Bukan malah mortgage concern,”tekannya.
Kalangan menengah bawah, kata Aldi, tak akan menunggak cicilan, karena properti tersebut pada akhir tenor akan menjadi asetnya. Hal ini berbeda dengan kalangan menengah atas yang menjadikan kredit properti sebagai instrumen utang opsional dan properti yang dibelinya hanya sebagai salah satu instrumen investasi.
Dia pun mengkhawatirkan dengan relaksasi LTV yang telah dilakukan justru akan memunculkan program serupa "Klapa Village" di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, yang hingga belum jelas nasibnya.