Bisnis.com, JAKARTA – Sesungguhnya tidak ada yang keliru jika pemerintah mengeluarkan kebijakan populis yang sifatnya amal-karitatif.
Untuk mengurangi beban dan tekanan kebutuhan hidup yang ditanggung masyarakat miskin, pemberian subsidi, layanan kebutuhan dasar yang tidak berbayar dan bahkan bantuan dana yang langsung diberikan begitu saja kepada keluarga miskin adalah hal yang lazim dilakukan ketika pemerintah berkeinginan mencegah keluarga miskin tidak makin terpuruk.
Cuma, karena 2018 dan 2019 disebut-sebut sebagai tahun politik, apa pun kebijakan yang dikeluarkan incumbent yang berkuasa, niscaya akan dapat ditafsirkan bermacam-macam. Pemerintahan di era Jokowi-Jusuf Kalla yang selama 3 tahun terakhir konsisten memangkas anggaran untuk subsidi BBM dan listrik, misalnya, memasuki 2018 justru berubah strategi, yaitu menambah anggaran subsidi harga BBM dan listrik dengan alasan untuk membantu meringankan beban masyarakat miskin.
Sejumlah kebijakan populis yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi-JK, seperti pemberian THR dan gaji ke-13 yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya, peningkatan anggaran dan jumlah penerima bantuan PKH (Program Keluarga Harapan), pemberian subsidi BBM dan tarif listrik, kebijakan penurunan tarif tol, dan sejenisnya bermanfaat bagi masyarakat miskin.
Namun, pertanyaan sejumlah pihak adalah apa sebetulnya motif politik di balik dikeluarkannya kebijakan yang sifatnya populis itu? Apakah keputusan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan populis semata untuk memastikan agar masyarakat miskin tidak kolaps?
Pertanyaan-pertanyaan di atas wajar muncul sebab kebijakan populis, selain akan berisiko menguras kemampuan dana pembangunan, implikasinya kemudian bukan tidak mungkin kebijakan populis seperti di atas akan bersifat kontraproduktif.
Masyarakat miskin yang setiap waktu terus disubsidi dan diberi berbagai sokongan dana, bukan tidak mungkin justru akan kehilangan mekanisme self-help yang mereka miliki. Alih-alih dapat keluar dari belitan kemiskinan yang dialami, sering terjadi keluarga-keluarga miskin yang terus-menerus disubsidi justru menjadi tergantung uluran tangan pihak luar.
Di atas kertas, salah satu cara untuk membantu masyarakat miskin dapat melewati situasi krisis dan tekanan kebutuhan hidup yang makin jejas, selain menjamin harga jual kebutuhan pokok tetap terjangkau, yang tak kalah penting adalah bagaimana menjaga agar keluarga miskin tidak berisiko masuk dalam perangkap kemiskinan (poverty trap).
Sudah barang tentu, sepanjang dana pembangunan yang dimiliki pemerintah memungkinkan, seberapa pun besarnya subsidi diberikan dan sebanyak apapun kebijakan populis digulirkan, semua tidak akan menjadi masalah.
KEMAMPUAN APBN & APBD
Namun, lain soal ketika kemampuan APBN dan APBD tidak terlalu menggembirakan. Ketika jumlah utang luar negeri terus meningkat, efektivitas kebijakan tax amnesty, dan investasi juga tidak terlalu bisa diharapkan, pertanyaannya kemudian adalah kenapa justru pemerintah makin meningkatkan program-program pembangunan yang populis?
Dalam hal ini, terdapat dua risiko yang patut ditimbang sebelum pemerintah memutuskan meneruskan kebijakan yang sifatnya populis.
Pertama, kebijakan yang sifatnya populis sering kali malah akan melahirkan distorsi dan juga kekeliruan pemahaman masyarakat tentang kondisi riil perekonomian nasional. Kalau melihat sepintas, pemerintah yang getol mengeluarkan kebijakan populis seharusnya adalah pemerintah yang memiliki fondasi perekonomian yang kuat, memiliki tiang penyangga yang kuat dari segi pendanaan, dan sudah barang tentu disokong perkembangan perekonomian nasional yang kuat.
Masalahnya, apakah dukungan dana pemerintah memang memungkinkan dan aman, serta apakah benar kondisi perekonomian nasional sedang dalam perkembangan yang membanggakan?
Kedua, kebijakan yang sifatnya populis, selain rawan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, dalam banyak kasus juga rawan salah menyasar kelompok sasaran yang seharusnya. Pemberian THR dan gaji ke13 yang diberlakukan sama kepada seluruh PNS, TNI dan Polri di semua jenjang sesungguhnya tidak adil.
Artinya, jika pemerintah konsisten dengan kebijakan subsidi yang diperuntukkan kepada masyarakat miskin, bukankah seharusnya PNS dan TNI serta Polri yang berpangkat rendah yang seharusnya memperoleh THR dan gaji ke-13 lebih banyak?
Contoh lain, kebijakan pemberian subsidi BBM, misalnya, ketika pembeli BBM tidak diatur dan dipantau dengan baik maka jangan heran jika program subsidi harga BBM ini bukan hanya membebani keuangan negara, tetapi juga salah sasaran, karena yang banyak membeli BBM bersubsidi pun ternyata adalah orang-orang yang memiliki mobil, yang notabene bukan penduduk miskin.
Secara objektif, sebetulnya tidak ada yang keliru jika pemerintah–siapa pun yang berkuasa—mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membantu masyarakat miskin. Di mata para pengamat politik, tindakan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan populis di tahun politik, dinilai merupakan strategi lama yang biasa dikembangkan petahana dalam memenangkan hati masyarakat.
Para elite politik sebelum era Jokowi-JK, seperti era kepemimpinan Presiden Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, umumnya juga memilih melakukan hal yang sama untuk menarik simpati masyarakat, seperti menurunkan harga BBM, memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain.
Pertanyaan kita sekarang, selain program yang populis, apakah ada program-program pembangunan lain yang dikembangkan pemerintah yang sifatnya benar-benar untuk memberdayakan masyarakat, bukan sekadar program yang sifatnya amal-karitatif?
Keberanian pemerintahan Jokowi-JK mengembangkan kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaaan masyarakat miskin dan aktivitas ekonomi kerakyatan adalah dasar penting sebelum kita menilai yang dilakukan pemerintah sekadar bagian dari politik pencitraan atau memang niat tulus.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (30/6/2018)