JAKARTA - Pengembangan industri serat selulosa atau rayon akan memperkuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri yang telah menyumbang US$12,4 miliar kepada penerimaan negara pada 2017.
Kementerian Perindustrian memberikan perhatian khusus kepada serat rayon sebagai penopang industri TPT dalam negeri, karena kapasitas produksinya terus meningkat dari 200.000 ton atau 8,7% dari total produksi dunia pada 2004, menjadi 250.000 ton yang setara dengan 11% dari total produksi dunia.
Rayon merupakan bahan tekstil selulosa jenis cellulosic filament (CF) yang diperoleh dari ekstraksi serat bubur kayu larut atau dissolving pulp.
Industri tekstil sebenarnya telah mengenal rayon sebagai sutra buatan dengan kelebihan kain lebih terlihat berkilau dan tidak mudah kusut. Saat ini serat rayon banyak digunakan sebagai alas tidur, pakaian, handuk, tisu basah untuk bayi, masker, dan produk kebersihan lainnya.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri rayon, karena pohon yang menjadi bahan baku rayon hanya memerlukan 5 hingga 8 tahun untuk dipanen. Hal itu berbeda dengan pohon kayu di negara nontropis yang memerlukan 25 hingga 80 tahun untuk dipanen.
Edy Sutopo, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian mengatakan kebutuhan dissolving pulp saat ini mencapai 400.000-500.000 ton per tahun yang semuanya dipenuhi dari impor.
“Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki, Indonesia berpeluang menjadi salah satu produsen rayon terbesar di dunia. Selain dapat mendatangkan devisa, industri ini berpeluang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Bahan Baku
Industri tekstil dalam negeri saat ini menghadapi persoalan pasokan bahan baku, terutama serat yang akan dipintal menjadi benang dan kemudian ditenun menjadi kain.
Padahal, TPT merupakan salah satu industri strategis nasional karena berkontribusi besar terhadap penerimaan negara. Tahun lalu, ekspor TPT mencapai US$12,4 miliar, naik sekitar 4,4% dibandingkan dengan 2016 yang mencapai US$11,87 miliar.
Word Bank juga menempatkan Indonesia di peringkat 20 sebagai negara eksportir tekstil pada 2015, dengan export product share mencapai 6,31% secara global.
Saat ini serat sintetis seperti poliester dan nilon menjadi bahan baku yang paling banyak digunakan industri TPT dalam negeri dengan porsi 51%, sedangkan serat kapas memiliki porsi 37% dan rayon 12%.
Central Data Mediatama Indonesia (CDMI) mencatat impor Polyester Staple Fiber (PSF) Indonesia pada 2013 sebanyak 134.143 ton senilai US$ 41,09 juta, dan meningkat menjadi 153.376 ton senilai US$171,69 juta pada 2017.
Adapun untuk serat kapas, 99% kebutuhan dalam negeri yang mencapai 500.000 ton per tahun masih diperoleh dari impor, karena rendahnya kapasitas produksi serat kapas dalam negeri yang hanya 5.000 ton per tahun.
United Nations Commodity Trade Statistics Database 2017 mencatat Indonesia menempati peringkat 5 sebagai negara pengimpor serat setelah China, Vietnam, Turki, dan Hongkong.
Data itu juga menunjukkan mayoritas impor serat kapas Indonesia berasal dari Amerika Serikat, Brasil, Australia, dan India.
Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan rata-rata impor kapas dalam negeri mencapai US$1 miliar per tahun.
Sementara itu Bruce Atherley, Direktur Eksekutif Cotton Council International (CCI), mengatakan faktor pendorong permintaan serat kapas adalah peningkatan konsumsi pakaian dan produk fasion lainnya oleh kalangan menengah muda Indonesia.
Pengembangan industri rayon sebenarnya dapat menjadi salah satu solusi untuk menopang industri TPT nasional yang saat ini kesulitan memperoleh bahan baku.