Bisnis.com, JAKARTA—Kualitas utang Indonesia kembali mendapat penilaian dari Lembaga pemeringkat Moody's Investor Service (Moody's) yang meningkatkan Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia dari Baa3/Outlook Positif menjadi Baa2/Outlook Stabil pekan ini.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai kenaikan tersebut membuktikan Pemerintah dan Bank Indonesia sangat kredibel mengelola utang.
“Ini menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi kredibel dan pruden dalam mengelola utang,” ujar Rizal Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi dan Bisnis melalui keterangan resmi, Minggu (15/4/2018).
Menurutnya, kenaikan tersebut merupakan cerminan kredibilitas penyelenggara kebijakan terkait utang dan efektif mendorong stabilitas makroekonomi.
“Ini yang menilai positif Moody's, bukan kami, bahwa pemerintahan sebelumnya sampai pemerintahan Jokowi-JK mampu menjaga defisit fiskal di bawah batas 3% sejak 2003. Defisit dapat dipertahankan di level rendah dan didukung oleh pembiayaan yang bersifat jangka panjang dapat menjaga beban utang tetap rendah sehingga mengurangi kebutuhan dan risiko pembiayaan,” ujarnya.
Selain pemerintah, PSI juga mengapresiasi kinerja Bank Indonesia (BI) karena dinilai mampu menjalankan tugasnya di wilayah moneter sehingga stabilitas makro ekonomi terjaga dengan baik.
Baca Juga
“Ada kebijakan nilai tukar yang fleksibel, berkat kerjasama yang cantik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan BI, inflasi terjaga di level yang cukup rendah dan stabil,” ujar Rizal.
Sebelumhya, Moody's juga memperbaiki outlook SCR Republik Indonesia dari Stable menjadi Positive, sekaligus mengafirmasi rating pada Baa3 (Investment Grade) pada 8 Februari 2017. PSI menilai, saat ini kondisi keseimbangan primer atau primary balance Indonesia, terus membaik.
“Memang dalam primary balance, pendapatan dengan pengeluaran pemerintah masih defisit. Defisit itu biasa, hanya sedikit negara yang enggak defisit, sehingga pemerintah mencari utangan untuk menutupi itu. Yang penting kondisinya terus membaik dan terkelola dengan baik,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar negara mengalami defisit anggaran. Negara seperti China mengalami defisit anggaran 2,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu India sebesar 7,1% PDB, sedangkan Malaysia 3,03% PDB. Negara berkembang seperti Vietnam mengalami defisit anggaran hingga 6,5% PDB, Polandia 2,9% PDB, Argentina 7,3% PDB, sedangkan Kolombia 2,84% PDB.
Lebih lanjut, dia mengatakan saat ini banyak pihak melihat utang hanya dari nominalnya saja. Menurutnya, hal itu merupakan sudut pandang yang sesat, karena tidak melihat utang dari progresivitas dan kapasitas ekonomi.
“Ini seperti anak SD melihat utang ayahnya atau utang perusahaan ayahnya. Kaget-kaget dia. Jadi, ukurannya adalah PDB,” ucapnya.
Rizal mengatakan rasio utang tertinggi atas PDB pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nilai utang pemerintah saat itu sebesar Rp1.232,8 triliun dengan rasionya menjadi 88,7 % terhadap PDB.
Sudah sebesar 88,7% terhadap PDB, toh juga tidak seribut zaman Pak Jokowi yang hanya 27% atas PDB. Setelah masa itu, rasio utang pemerintah atas PDB mengalami tren penurunan. Sampai saat ini masih di bawah 30%. Rasio utang saat Pak Harto lengser sebesar 57,7% dari PDB, dilanjutkan zaman Pak Habibie menjadi 85,4% atas PDB.
“Bandingkan dengan saat ini yang hanya 27%,” ucapnya.