Bisnis.com, JAKARTA- Sudah sejak tiga tahun terakhir Kementerian Agama mengendus maraknya praktik investasi bodong berkedok umrah. Pasalnya, mahalnya biaya umrah regular yang dapat mencapai lebih dari Rp20 juta justru disulap menjadi celah bisnis oleh oknum yang tidak bertanggung jawab melalui skema investasi Ponzi hingga Multi Level Marketing (MLM) yang menjerat para calon jemaah dengan paket umrah murah.
Kini, telah ditemukan beragam kasus investasi bodong berkedok umrah. Salah satu yang paling menyedot perhatian adalah kasus First Travel yang mulai mencuat pada akhir 2017, yang telah menipu puluhan ribu calon jemaah dengan total kerugian ditaksir mencapai Rp848,7 miliar.
Kasus First Travel nyatanya menjadi salah satu dari fenomena gunung es yang perlahan terkuak. Terbaru, Kementerian Agama pun mengambil tindakan tegas, dengan mencabut izin operasional empat Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) bermasalah karena terbukti menelantarkan calon jemaah.
Keempat PPIU tersebut adalah PT Amanah Bersama Ummat (ABU Tours) yang berdomisili di Makassar, Solusi Balad Lumampah (SBL) di Bandung, MUstaqbal Prima Wisata di Cirebon, dan Interculture Tourindo di Jakarta.
Wakil Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Haji dan Umrah (Himpuh) Muharom menjelaskan, skema Ponzi seperti yang terjadi pada kasus First Travel dilakukan dengan cara gali lubang tutup lubang. Dengan cara ini, biro umrah menawarkan keuntungan berlipat atau mengiming-imingi harga paket umrah sangat murah kepada calon jemaah bila berhasil mengajak bergabung calon jemaah lain.
Padahal, dalam prinsip syariah seharusnya dana calon jemaah harus digunakan murni untuk keperluan ibadah, bukan untuk praktik investasi yang mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
“Perdagangannya [paket umrah] menghalalkan keuntungan lebih yang spektakuler, misalnya dengan mengiming-imingi memberikan pendapatan kalau bisa mengajak orang lain,” ujarnya.
Dia menjelaskan, salah satu ciri investasi bodong berskema Ponzi dan MLM ini adalah iming-iming keuntungan berlipat dengan risiko yang kecil. Fokus usahanya adalah menarik anggota baru sebanyak-banyaknya, bukan pada bisnis utamanya atau dalam hal ini pelayanan ibadah umrah.
Pada akhirnya, hanya calon jemaah awal yang bisa berangkat umrah. Namun belum tentu halnya dengan calon jemaah yang bergabung belakangan. Pemasaran paket umrah yang menggunakan MLM dengan indikasi skema Ponzi ini akhirnya diharamkan oleh Kementerian Agama karena adanya ketidakpastian keberangkatan bagi calon jemaah yang mendaftar belakangan.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama Nizar Ali mengakui, sistem pengawasan umrah yang selama ini diselenggarakan swasta/biro umrah tidak seketat ibadah haji yang murni diatur oleh pemerintah. Namun, banyaknya kasus umrah yang merugikan calon jemaah membuat pemerintah mengambil langkah tegas.
Selain mencabut izin operasional biro umrah bermasalah, pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan melalui Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (SIPATUH). Adanya harga referensi umrah pemerintah yang akan segera ditetapkan dalam waktu dekat juga diharapkan dapat menjadi panduan bagi masyarakat untuk terhindar kasus investasi bodong berskema umrah.
“Tidak diperkenankan PPIU dalam menawarkan paket menggunakan sistem Ponzi, sistem gali lubang tutup lubang dengan penawaran harga murah dari segi operasional dan mengambil [dana] jemaah yang datang belakangan untuk menutup [biaya operasional] jemaah yang akan diberangkatkan. Itu menyimpang dari prinsip syariah,” ujarnya.
Selain mencabut izin operasional empat biro umrah, saat ini pihaknya juga mengaku tengah mengawasi dua biro umrah yang dicurigai menggunakan skema serupa. Namun demikian, dia mengaku belum dapat mempublikasikan nama biro umrah yang dimaksud.
Dia menambahkan, nantinya setiap biru umrah yang menawarkan harga paket di bawah harga referensi (diestimasikan Rp20 juta), dan memiliki masa tunggu lebih dari enam bulan, maka wajib melaporkan kepada Kementerian Agama melalui sistem SIPATUH. Pasalnya, dia menjelaskan harga paket dan lamanya masa tunggu dapat menjadi dua indikator utama untuk menyelidiki investasi bodong berkedok umrah.
“Masa tunggu calon jemaah tidak boleh lebih dari enam bulan setelah uang muka, atau lebih dari tiga bulan setelah pelunasan. Kita tidak ingin uang ibadah itu diputar dulu untuk investasi yang tidak-tidak,” jelasnya.