Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah diharap dapat mengelola utang dengan baik, sehingga tidak mengulang kisah pahit negara yang gagal membayar utangnya karena strategi pembangunan infrastrukturnya yang masif. Menurut riset Indef, ada empat negara yang gagal membayar utang.
Ekonom Indef M. Rizal Taufikurrahman mengatakan, ada negara yang berhasil membiayai proyek infrastrukturnya dengan utang, tetapi ada juga yang gagal.
"Ada negara yang gagal, mereka masif membangun infrastrukturnya dengan utang, tetapi yang terjadi mereka tidak bisa bayar utang," katanya dalam acara diskusi Indef, di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Menurutnya, infrastruktur merupakan proyek yang memberi dampak dalam jangka panjang, dan negara yang membangunnya juga harus memperhatikan dampak jangka pendek yang dihasilkan dalam pembangunan infrstruktur. Adapun, negara yang gagal dalam membayar utangnya:
Pertama, Zimbabwe, utang sebesar US$40 juta kepeda China, membuatnya harus mengikuti keinginan China dengan mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang.
Mata uang yuan di Zimbabwe mulai berlaku pada 1 januari 2016, setelah pemerintahan Zimbabwe mendeklarasikan tidak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015.
Kedua, Nigeria, di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang.
China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastuktur di Nigeria.
Ketiga, Sri Lanka, setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun.
Keempat, Pakistan, di mana Gwadar Port yang dibangun bersama China dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus direlakan.
"Khawatir Indonesia seperti mereka, karena infrastruktur harusnya menjadi input produksi untuk efesiensi, tapi itu tidak terjadi juga," imbuhnya.
Namun, di sisi lain, ada juga negara yang mampu memanfaatkan utang yang diterima untuk pembangunan infrastruktur, dan akhirnya menstimulasi ekonominya.
Negara tersebut adalah Korea selatan, Jepang, dan China.
Pengembangunan infrastruktur di ketiga negara tersebut ditujukan untuk mengembangkan nilai tambah dari sektor transportasi dan angkutan umumnya.