Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Tanaman Organik Alami Hambatan

Ekspor tanaman organik masih mengalami sejumlah hambatan seperti ketiadaan kode harmonized system untuk ekspor hingga pengenaan tarif yang menyebabkan menurunnya daya saing di pasar global.
Ilustrasi/roguehealthandfitness.com
Ilustrasi/roguehealthandfitness.com

Bisnis.com, JAKARTA - Ekspor tanaman organik masih mengalami sejumlah hambatan seperti ketiadaan kode harmonized system untuk ekspor hingga pengenaan tarif yang menyebabkan menurunnya daya saing di pasar global.

Ketua Aliansi Organik Indonesia Sebastian Saragih mengatakan sejumlah produk organik di Indonesia seperti salak dan gula kelapa memiliki kualitas baik di pasar Internasional. Namun dengan adanya pengenaan tarif ke Uni Eropa hingga 6% membuat persaingan ekspor kalah dibanding Kamboja dan Vietnam. Pasalnya negara tersebut telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan kawasan itu.

Sejauh ini produk organik potensial lainnya dari Indonesia adalah beras dan kopi. Masyarakat luar negeri menghargai tanaman organik lebih tinggi dibanding produk nonorganik. Pasalnya, tanaman tersebut tumbuh tanpa menggunakan bahan pupuk kimia.

“Dari segi keunggulan, Indonesia menang banyak. Akan tetapi kami mengalami persoalan daya saing, teknologi dan tarif,” katanya di Gedung Kemendag, Senin (19/3/2018).

Menurutnya ekspor produk organik cukup menjanjikan. Sejumlah negara besar juga menjadi pangsa pasar pangan organik seperti Amerika Serikat sebesar 45% dan Eropa sebesar 36% dari seluruh pasar organik dunia.

Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia, total produksi beras organik pada 2016 mencapai 12.276 ton, madu 2.702 ton, kopi 346.200 ton, cokelat 70 ton, mete 838 ton, gula kelapa 201 ton, minyak kelapa 1.673 ton, salak 865 ton dan sayuran sebesar 4.708 ton.

Produk tersebut kebanyakan digunakan di pasar domestik, namun harga yang ditawarkan jauh lebih rendah dibanding ekspor.

“Ekspor berada di bawah 10%,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Fajarini Puntodewi mengatakan pemerintah akan mendukung seluruh ekspor produk dari dalam negeri. Perihal kode HS yang belum ada, Kemendag berjanji akan mengusulkan hal tersebut kepada kementerian terkait.

Selain itu, diketahui bahwa pasar ekspor tumbuhan organik juga cukup menjanjikan. Di luar negeri harga produk organik meningkat tajam dibanding nonorganik. Sebut saja di AS, harga produk organik meningkat 21% sampai 100%, Eropa naik 13% sampai 15% dan China yang mengalami kenaikan hingga 800% untuk harga pangan organik dibanding nonorganik

Menurut data Kemendag, share total ekspor produk agro Indonesia terhadap pangsa pasar dunia pada 2017 tercatat sebagai berikut : buah dan sayuran 0,24%, produk makanan olahan 0,11%, produk teh 0,06%, produk kopi 0,70%, produk rempah-rempah 0,37%, produk kakao 0,55%.

“Sebagian kecil dari angka tersebut merupakan produk organik. Kita masih belum bisa mendata karena belum ada kode HS-nya,” kata Fajarini.

Peluang  dan Kendala 

Presiden International Federation of Organic Agriculture (IFOAM) Asia Zhou Zeijang mengatakan Indonesia berpeluang menjadi produsen makanan organik dunia. Potensi itu didasarkan fakta bahwa Indonesia memiliki iklim yang baik dan mampu memproduksi 3 sampai 4 kali per tahun. Dia meyakini produk organik akan menjadi pangsa yang besar beberapa tahun mendatang di Indonesia.

“Nilai transaksi produk organik di dunia mencapai US$100 miliar per tahun. Indonesia juga mempunyai petani yang pintar dan pekerja keras [sehingga dapat merebut pasar itu],” ujarnya.

Di sisi lain, Bupati Serdang Bedagai Sumatera Utara Soekirman mengatakan petani produk organik mengalami kesulitan untuk mengembangkan ekspor tanamannya. Pasalnya penerimaan di pasar membuat petani mengalami margin keuntungan cukup tipis. Belum lagi dalam aturan, petani harus membuat sertifikat untuk mengajukan lahannya sebagai lokasi tanam tanaman organik.

Dia mengatakan biaya yang harus dikeluarkan petani untuk membuat sertifikat tanaman organik tidak sedikit. Sertifikasi untuk beras organik, misalnya, harus mengeluarkan cost Rp30 juta dengan masa berlaku dua tahun. Pengurusan sertifikat gula kelapa di Sumatra Utara mencapai Rp165 juta untuk masa dua tahun. Petani harus memperpanjang kembali jika sudah habis masa sertifikasi.

“Produksi tanaman organik masih lemah. Mau menjual ke penampung tapi labelnya juga tidak ada organik, sehingga harga menjadi sama dengan nonorganik. Kemudian juga tidak ada gudang besar untuk menampung pasokan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper