Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan para anggotanya dipastikan merugi apabila menjual bijih nikel kadar rendah di dalam negeri dengan harga yang ditawar oleh pengusaha smelter.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan teknologi yang digunakan smelter dalam negeri sebenarnya mampu mengolah bijih nikel dengan kadar 1,7% ke bawah. Namun, harga yang dipatok oleh pembeli sangat rendah, sehingga tidak ekonomis bagi penambang.
"Sangat mampu mengolah. Tapi, harganya sangat rendah," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (15/3/2018).
Dia mengatakan ongkos produksi bijih nikel mencapai kisaran US$16-US$17 per ton basah (wmt). Sementara harga yang dipatok pembeli untuk bijih nikel dengan kadar 1,7% hanya US$15 per wmt.
Alhasil, penambang justru akan merugi apabila menjual bijih nikelnya di dalam negeri. Padahal, bila diekspor nilai mencapai US$35 per wmt.
Adapun pemerintah telah menetapkan harga patokan mineral (HPM) untuk komoditas logam, termasuk nikel. Namun, dalam praktiknya belum berjalan secara efektif.
"HPM belum berjalan. Makanya kami minta Kementerian ESDM untuk mengambil kebijakan terkait ini. Sudah dijanjikan akan dikaji," tuturnya.