Bisnis.com, JAKARTA - Perang dagang dikancah perdagangan global berpotensi menekan neraca perdagangan Indonesia pada tahun ini. Perang dagang tersebut dipicu oleh aksi Amerika Serikat (AS) yang akan mengenakan bea masuk yang lebih tinggi terhadap impor alumunium dan baja serta barang elektronik.
Selain perang dagang, neraca perdagangan Indonesia juga menghadapi tekanan dari kenaikan tarif bea masuk impor minyak sawit mentah di India sebesar 44% dan potensi Uni Eropa (UE) mengurangi pengunaan minyak sawit sebagai biofuel hingga akhirnya ditetapkan penggunaannya nihil pada 2021.
Bhima Yudhistira, Ekonom Indef, mengatakan kondisi yang terjadi di AS dapat memicu negara eksportir baja dan alumunium untuk mencari pasar baru. Dalam hal ini, Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara sasaran.
"Indonesia jenis hambatan dagangnya paling sedikit dan pasarnya besar akan jadi target pelarian ekspor dari negara-negara seperti China, Jepang dan sebagainya," kata Bhima, Minggu (11/3).
Dengan demikian, impor bahan baku, barang modal dan barang konsumsi berpotensi naik. Bhima mengkhawatirkan ini menjadi pertanda buruk bagi industri manufaktur karena kandungan lokal bahan baku akan menurun. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mengancam daya saing.
Bhima melihat kondisi ini dapat menekan neraca perdagangan. Hingga Juni 2018, dia memperkirakan neraca perdagangan Indonesia akan berada pada posisi defisit. "Sebentar lagi Mei - Juni bertepatan dengan persiapan Lebaran, biasanya impor barang konsumsi naik," kata Bhima.
Dia berharap pemerintah segera mencari pasar ekspor baru untuk ekspor nonmigas. Menurutnya, pasar nontradisional relatif lebih terbuka untuk negosiasi dan tidak protektif. Selain itu, tim perundingan yang membahas hambatan perdagangan bilateral dan WTO harus diperkuat untuk menyelesaikan masalah minyak sawit.
Jika pemerintah harus melakukan retaliasi dagang, dia berharap prosedurnya dilakukan sesuai tahapan yang benar. Dalam hal ini, setiap retaliasi dagang harus mendapatkan persetujuan WTO. Sebelum retaliasi, setiap negara harus melaporkan terlebih dahulu terkait dengan masalah tarif bea masuk yang dimaksud kepada WTO.
"Baru setelah tidak berhasil, diadakan retaliasi dagang," kata Bhima. Terakhir, dia menilai pemerintah memperketat SNI dan bea masuk sebagai filter barang impor besi dan baja.
Firmanzah, pakar ekonomi dari Universitas Paramadina, mengkhawatirkan adanya tekanan terhadap neraca perdagangan akibat masalah perang dagang tersebut. Neraca perdagangan Indonesia yang surplus sepanjang 2017 dapat berbalik defisit pada tahun ini. Pasalnya, bea masuk yang diterapkan AS dapat memicu kelebihan pasokan baja di China.
Kelebihan pasokan tersebut dapat diarahkan ke Indonesia. "Impor kita akan berpotensi melonjak karena ada tambahan," kata Firmanzah, Minggu (11/3). Terkait dengan rencana penghapusan pengunaan minyak sawit sebagai biofuel di UE, dia menuturkan pemerintah harus bersiap dari sekarang dengan mencari pasar-pasar baru seperti Turki, Pakistan dan Afrika yang selama ini belum tergarap dengan baik.
Selain itu, dia mengungkapkan kunci utama masalah ini ada pada diplomasi karena ancaman terhadap minyak sawit Indonesia sudah terjadi berkali-kali. "Kuncinya ada pada diplomasi dan mencari pasar baru," tegasnya.