Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun telah mengantongi sertifikat legal, ekspor produk kayu ke Uni Eropa relatif stagnan. Padahal, semula lisensi yang disebut V-legal itu diharapkan memberikan nilai tambah bagi produk kehutanan nasional.
Nilai ekspor kayu dan produk kayu Indonesia pada 2017, setahun setelah lisensi Forest Law, Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) diterbitkan, hanya US$1 miliar, tidak signifikan dibandingkan dengan realisasi pengapalan 2012, ketika syarat itu masih diujicobakan.
Menanggai hal itu, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama menyebutkan beberapa faktor di luar masalah sertifikasi yang memengaruhi permintaan Uni Eropa terhadap kayu dan produk kayu Indonesia, seperti desain, kualitas, dan harga.
Selain itu, ujar dia, realisasi pada tahun perdana ekspor kayu dan produk kayu bersertifikat V-legal juga belum cukup menjadi ukuran. Kendati ekspor produk kehutanan tak lagi memerlukan uji tuntas (due diligence), Putera mengatakan pengapalan ke Benua Biru tetap membutuhkan waktu.
"Tidak ada penurunan [ekspor] saja, itu sebuah indikasi positif," ujarnya, Selasa (6/3/2018).
Walaupun demikian, pemerintah akan terus melakukan promosi produk kayu bersertifikat sehingga konsumen di Uni Eropa memahami keunggulan kayu bersertifikasi V-legal.
Hal serupa juga disampaikan Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Tuti Prahastuti. Menurut dia, justru ekspor bisa menurun jika Indonesia tidak menerapkan mandatori sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk ekspor ke Uni Eropa.
"Stagnan saja enggak apa-apa. Walaupun cuma tumbuh 1,5% lebih, itu berdampak terhadap pertumbuhan ekspor kita," ujarnya.
Selain itu, hal yang perlu dicermati dari pengapalan produk kayu ke Zona Euro adalah komoditas ekspor yang lebih beragam. Menurut Tuti, ekspor home decor dan flooring mengalami peningkatan tajam.
Uni Eropa menyerap 752.710 ton atau hampir 5% dari volume ekspor kayu dan produk kayu Indonesia tahun lalu. Dengan nilai pembelian US$1 miliar, Benua Biru menjadi pasar terbesar keempat kayu dan produk kayu Indonesia setelah China, Jepang, dan Amerika Serikat.