Bisnis.com, JAKARTA — Produksi industri Jepang tercatat turun ke level terdalamnya selama 7 tahun terakhir pada Januari 2019. Hal yang sama pun terjadi pada data penjualan ritel yang turun melampaui perkiraan.
Melalui keterangan resminya, Kantor Kabinet Jepang menyebutkan produksi industri terkontraksi 6,6% pada Januari 2017 dari bulan sebelumnya. Penurunan tersebut tercatat menjadi yang terbesar sejak Maret 2011 dan lebih dalam dari perkiraan pasar dengan turun 4,0%.
Penurunan produksi tersebut bahkan terjadi di sektor-sektor strategis yang selama ini menjadi penopang Negeri Sakura seperti otomotif dan suku cadang kendaraan. Kendati demikian, para ekonom percaya kondisi ekonomi Jepang masih belum terlalu terpengaruh lantaran kuatnya aktivitas ekspor.
“Saat ini saya belum terpikirkan untuk mengubah pandangan tentang ekonomi Jepang. Sejauh ini saya masih percaya ekonomi Jepang akan pulih bertahap, terutama ditopang ekspor,” kata Taro Saito, direktur peneliti di NLI Research Institute, seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (28/2/2018).
Dia pun mempercayai, aktivitas produksi industri di Negeri Sakura akan kembali naik atau pulih pada Februari, sebelum akhirnya akan jatuh kembali pada Maret.
Sementara itu, Kepala Ekonom Daiwa Securities Yasutoshi Nagai mengatakan, turunnya angka produksi industri Januari 2018 merupakan dampak dari melemahnya konsumsi domestik.
“Ini baru 1 bulan, masih bisa ditoleransi. Akan tetapi jika berlanjut maka ada baiknya Jepang meningkatkan kehati-hatiannya,” katanya
Seperti diketahui, permintaan global pada produk Jepang telah mendorong terjadi ekspansi pada perekonomian negara tersebut selama delapan kuartal berturut-turut. Ekspansi tersebut menjadi yang terpanjang selama 1 dekade terakhir. Para analis memperkirakan, ekspansi setidaknya masih akan terjadi pada kuartal I/2018.
Namun, mereka juga memperingatkan, jika Jepang masih terlalu bergantung pada ekspornya, negara tersebut harus bersiap mengalami pukulan tajam. Pasalnya, kebijakan proteksionisme AS masih terus membayangi. Hal itu ditambah pula oleh makin menguatnya yen.
“Dengan terus menguatnya yen, maka itu akan menjadi risiko bagi Jepang yang makin bergantung pada ekspor,” kata Masaki Kuwahara, ekonom senior Nomura Securities.