Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai masyarakat berpendapatan menengah ke bawah saat ini tidak memiliki daya beli yang kuat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat menengah ke atas dan investor tidak memiliki kepercayaan diri yang kuat.
Windfall profit dari harga komoditas pun sudah tidak ada. Akibatnya, kalangan investor juga ragu untuk berekspansi jika tidak ada permintaan terhadap produknya.
Juniman, Kepala Ekonom PT Maybank Indonesia Tbk,. menjelaskan, pengembangan industri harus dilakukan untuk industri-industri yang memiliki nilai tambah lebih dan sesuai dengan permintaan masyarakat terkini.
Dia mewanti-wanti agar pemerintah tidak terjebak dalam pengembangan industri yang sudah tidak relevan dengan permintaan masyarakat saat ini dengan pertimbangan upah murah saja.
Dengan skema sharing economy dewasa ini, lanjutnya, industri dalam negeri bisa terancam oleh banjirnya produk impor jika tidak ada kebijakan yang tepat dari pemerintah. Pelaku usaha yang selama ini menjalankan proses produksi bisa jadi beralih pada skema jasa perdagangan.
Hal inilah yang dinilainya perlu diantisipasi. “Peningkatan sektor jasa harus diwaspadai karena bisa jadi pelaku usaha switch menjadi trader. Akibatnya, orang cenderung impor,” kata Juniman, kepada Bisnis.
Pemerintah, sambungnya, harus terus menghilangkan hambatan yang selama ini dikeluhkan pelaku industri, mulai dari urusan administrasi, energi, bahkan pajak. Pembenahan regulasi dan perbaikan koordinasi antarkementerian atau lembaga serta pemerintah daerah juga harus dijalankan.
Dengan menilik data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realiasi investasi sektor tersier (jasa) pada 2017 mencapai Rp293,3 triliun. Angka itu sudah lebih tinggi dari sektor sekunder (industri manufaktur) yang hanya mencapai Rp274,8 triliun. Performa ini sekaligus melawan arus karena selama ini sektor sekunder selalu mendominasi.