Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengingatkan potensi kelangkaan komoditas bawang putih karena minimnya stok dan keengganan importir untuk menanam bibit bawang putih.
Menurut Dwi, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (28/1/2018), salah satu penyebab potensi kelangkaan bawang putih, selain karena tingginya kebutuhan, adalah munculnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Dalam peraturan tersebut, kata dia, terdapat kewajiban bagi para importir untuk menghasilkan atau menanam sebanyak lima persen bawang putih dari total izin impor yang telah didapatkan untuk memenuhi pasokan. "Importir ya importir, mereka pedagang. Masak disuruh bertani," ujar Dwi.
Dwi menjelaskan jika seorang importir ingin mengeksekusi hak impor sebanyak 1000 ton bawang putih dalam setahun, importir tersebut harus memproduksi sekitar 50 ton bawang putih dari kebun yang telah ditanami.
Jika setiap hektare lahan diproyeksikan bisa menghasilkan enam ton bawang putih, maka dibutuhkan lahan sekitar 8,33 hektare untuk menghasikan 50 ton bawang putih.
Biaya tanam komoditas ini, menurut estimasi Dwi, sampai masa panen, tiap per hektarenya mencapai Rp50 hingga Rp60 juta.
Dengan demikian, untuk memproduksi bawang putih sesuai harapan, maka dibutuhkan dana sekitar Rp416 juta sampai dengan Rp500 juta.
Jumlah tersebut apabila dikalikan dengan kebutuhan impor sebesar 400.000 ton bawang putih, maka dibutuhkan biaya tanam sekitar Rp3,3 triliun hingga Rp4 triliun.
Namun, untuk memenui ketentuan wajib tanam lima persen dari total impor 400.000 ton, maka biaya tanam yang diperlukan sebanyak Rp166 miliar sampai dengan Rp 200 miliar untuk produksi 20.000 hingga 25.000 ton.
Dengan kata lain, terdapat beban tambahan buat seluruh importir dalam mengeksekusi kebutuhan impor sebesar 400.000 ton bawang putih.
Dwi menambahkan persoalan lahan juga bisa menjadi penyebab keengganan importir untuk menanam bawang putih, apalagi belum ada kepastian terkait pembeli meski telah terjadi masa panen.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBPI) Piko Nyoto Setiadi menambahkan pihaknya setuju dengan ketentuan wajib tanam bagi para importir, namun bantuan dari pemerintah untuk penyediaan bibit masih minim.
"Ternyata kita disuruh cari bibit, disuruh cari petani, disuruh cari lahan, disuruh membiayai," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh salah seorang pengimpor bawang putih berbendera PT Tunas Sumber Rejeki, Sutrisno, yang merasa biaya penanaman komoditas, termasuk penyediaan bibit, tergolong besar dan menguras kantong.
"Bibit lokal sekarang terlalu mahal. Bibitnya dari Rp50.000-Rp70.000 per kilogram. Padahal untuk satu hektare lebih kurang pakai satu ton bibit," katanya.
Dengan satu hektare lahan membutuhkan bibit sebanyak satu ton, berarti tiap hektare pengimpor harus menyediakan dana antara Rp50 juta-Rp70 juta hanya untuk bibit bawang putih lokal.
Hingga saat ini, Indonesia belum bisa melepas ketergantungan impor bawang putih, karena stok yang ada belum bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Namun jumlah importir komoditas ini justru menurun, yaitu baru sekitar 29 perusahaan terdaftar yang mendapat izin untuk mendatangkan komoditas ini dari luar negeri.
Padahal dalam periode 2014 hingga awal 2017, setidaknya terdapat 112 importir yang memperoleh izin untuk perdagangan bawang putih.
Faktor ini yang menyebabkan target penanaman dari importir sebanyak 2.868 hektare, saat ini baru 865 hektare yang terwujud.
Hingga pertengahan Januari 2018, Kementerian Perdagangan belum memberikan izin impor bawang putih kepada importir.
Merujuk pada tahun-tahun yang lalu, pada Januari 2016 sudah dilakukan impor bawah putih sebanyak 41,84 ribu ton. Angka tersebut meningkat 10,22 persen dibandingkan periode 2015.