Bisnis.com, JAKARTA - Pembahasan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang e-commerce atau dagang-el masih jalan di tempat.
Pemerintah dikabarkan belum menemukan formulasi yang tepat terkait skema pemajakan dan perlakuan fiskal lainnya terhadap proses bisnis yang relatif baru tersebut.
Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak menyatakan otoritas pajak masih menunggu pembahasan dengan pihak lainnya, termasuk dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
"Kami nanti menunggu pembahasannya di BKF," kata Arif kepada Bisnis, Selasa (2/12/2017).
Pembahasan dengan BKF, lanjut dia, selain mencakup akan membahas persoalan alternatif mengenai pengenaan tarif bagi pelaku usaha. Opsi mengenai perlakuan tarif tersebut muncul, pasalnya sesuai arahan dari pemerintah, meski ada kewajiban perpajakan yang harus ditanggung pelaku usaha, tetapi aturan itu tetap memperhatikan perkembangan bisnis dagang-el.
"[Soal tarif], masih alternatif untuk dibicarakan BKF," jelasnya.
Adapun dari kacamata global, pemajakan dagang el atau ekonomi digital lainnya belum final. Masing-masing negara sebagian belum sepakat soal hak pemajakan khususnya mengenai pajak penghasilan (PPh).
Oleh karena itu sebuah forum bernama Inclusive Framework on Base Erosion Profit Shifting (IF BEPS) yang terdiri dari 100 negara, telah membentuk Task Force on Digital Economy (TFDE). Satgas tersebut diberi mandat sampai tahun 2020 untuk mencari skema pemajakan ekonomi digital.
Namun demikian, pada bagian lain komitmen global itu juga menjadi jerat bagi negara di dalamnya. Pasalnya, sebelum rekomendasi dari TFDE keluar, masing-masing yurisdiksi tak dapat mengeluarkan kebijakan pemajakan ekonomi digital.
Meskipun saat ini beberapa negara telah memilih jalannya sendiri misalnya Inggris dengan skema diverted profit tax, India dengan equalization levy - nya dan Australia memiliki multinational anti avoidance rule (MAAL).
Namun Indonesia sampai sekarang masih dihadapkan dua pilihan yakni akan menunggu rekomendasu atau menerapkan skema yang sama dengan tiga negara di atas.