Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjadi lebih mudah dalam menindak terhadap iklan atau siaran kesehatan yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan.
Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano mengatakan selama ini yang menjadi acuan KPI Pusat dalam melakukan tindakan terhadap program siaran yang dinilai melanggar adalah Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.
“Kita tidak bisa menentukan sebuah tayangan kesehatan itu melanggar karena penilaian soal benar atau tidaknya tayangan tersebut melanggar yang dapat menentukan dari Kementerian Kesehatan,” ujarnya di Jakarta pada Selasa (19/12/2017).
Melaui website resmi KPI Pusat, dia menjelaskan pihaknya tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan pengawasan dan tindakan terhadap siaran kesehatan yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku.
Menurut Hardly, perangkat hukum yang menambah kekuatan KPI tersebut berupa pernyataan kerja sama (memorandum of understanding/MoU) tentang Pengawasan Iklan dan Publikasi Bidang Kesehatan antara KPI Pusat dan Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, Lembaga Sensor Film (LSF), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Dewan Periklanan Indonesia (DPI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Baca Juga
“MoU tersebut memastikan keseriusan kedelapan instansi dan lembaga nonpemerintahan dalam mengawasi peredaran iklan kesehatan di media, khususnya penyiaran,” ujar Hardly.
Sementara itu Wakil Ketua YLKI Sudaryatmo menjelaskan berbagai permasalahan banyak ditemukan ada dalam iklan bidang kesehatan di antaranya soal klaim iklan yang berlebihan tanpa didukung penelitian dan bisa mengobati secara kilat serta penggunaan profesi dalam iklan seperti dokter atau pengertian yang misleading antara produk obat dan food suplemen.
Selain itu, lanjutnya, penggunaan testimoni tanpa ada informasi yang jelas tentang waktu penggunaan obat diiklankan disertai identitas pemberi testimoni masih sering ditemukan YLKI.
“Kami juga menemukan penggunaan figure anak-anak dalam iklan. Padahal di luar negeri penggunaan anak sangat ketat. Anak-anak juga sering mengiklankan produk yang bukan untuk mereka dan melakukan adegan yang tidak natural,” ujarnya.