Bisnis.com, BOGOR - Pemberlakuan PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tidak hanya memberikan dampak tehadap pelaku usaha berbasis hutan tanaman industri yang berpotensi kekurangan bahan baku, tetapi juga memberi dampak ke bidang riset.
Dalam Focus Group Discussion Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan yang diselenggarakan LPPM-IPB bekerjasama dengan Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI), The University of Sydney, dan Australia Institute pada Kamis (14/12), Pakar Penginderaan Jauh Radar IPB Mahmud Raimadoya menyampaikan riset biomass yang tengah dilakukan di Sumatera Selatan sejak 1995 terancam berhenti pasca pemberlakukan PP 57/2016. Riset dilakukan di area konsesi 585.000 ha.
"Riset itu kan panjang. Lah ini tiba-tiba harus diterapkan saat itu juga. Semua jadi sia-sia. Padahal, saya punya data mundur ke belakang kan banyak. Riset sejak 1995," kata dia.
Riset terhenti ketika fungsi budidaya di lahan gambut harus beralih ke fungsi lindung, karena riset diantaranya turut mendukung industri hutan tanaman industri. Dia berpendapat, semestinya penerapan aturan tersebut dapat menunggu hingga masa izin berakhir.
Guru Besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata menyampaikan masih ada definisi dan data gambut yang berbeda antara PP 57/2016 dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
"Dari yang seharusnya merupakan fungsi produksi menjadi konservasi. Ini menandakan koordinasi yang kurang," kata dia.
Deputi koordinasi bidang pangan dan pertanian kementerian koordinator bidang perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan gambut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa terpengaruh informasi yang simpang siur. Pengelolaan gambut dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.