Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPK: Target Bauran Energi Baru Terbarukan 2025 Sulit Dicapai

Badan Pemeriksa Keuangan menilai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 akan sulit dicapai setelah melihat hasil audit selama tahun ini.
Energi terbarukan/Istimewa
Energi terbarukan/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan menilai target bauran energi baru terbarukan  23% pada 2025 akan sulit dicapai setelah melihat hasil audit selama tahun ini.

Dari hasil audit BPK, bauran energi baru terbarukan selama Semester I/2017, hanya mencapai 7,7%. Dalam dua tahun terakhir, bauran energi baru terbarukan hanya meningkat 0,54% per tahun.

Realisasi tersebut masih belum mencapai target. Dalam Peraturan Pemerintah no.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional target bauran energi ramah lingkungan pada tahun ini mencapai 10,9%. Dalam beleid itu, bauran energi terbarukan harus meningkat 0,9% per tahun.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2017-2026, pembangunan pembangkit listrik dari energi ramah lingkungan ditargetkan mencapai 21.600 MW.

Pembangkit itu terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA)sebesar 14.100 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 6.300 MW, dan pembangkit lain, seperti PLTB dan PLTS, dan lainnya sebesar 1.200 MW.

Anggota IV BPK RI Rizal Jalil mengatakan ada beberapa hal yang menjadi kendala, terutama soal regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pihaknya menyimpulkan bahwa regulasi yang dikeluarkan pada tahun ini membuat investor dirugikan.

"Ada beberapa hal yang menjadi kendala, pertama soal regulasi. Hal ini membuat investor merasa dirugikan. Jika, keadaan terus seperti ini, target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% sukit dicapai pada 2025," katanya saat menggelar diskusi di Gedung BPK RI, Selasa (12/12/2017).

Beberapa hal yang menjadi kendala tersebut, pertama, kebijakan tarif yang ditetapkan pemerintah antara pengembang dan PT PLN (Persero) dinilai tidak konsisten. Pengusaha juga mendapatkan kesulitan karena harga jual listrik kepada PLN terlalu rendah.

Kedua, skema build, own, operate and transfer (BOOT) juga dinilai merugikan. Dalam skema ini, aset pengembang selama 20 sampai 30 tahun akan diserahkan kepada PLN.

Dia melanjutkan, dalam skema BOOT, PLN bisa saja mengambil alih aset pengembang sebelum masa kontrak berakhir. "Pengembang akan rugi karena mereka mengeluarkan anggaran yang besar membangun pembangkit listrik."

Kedua ketetapan ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM no.50/2017 tentang Pemanfataan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper