Bisnis.com, JAKARTA -- Strategi pemerintah dalam merumusukan kebijakan untuk melindungi pangan domestik diuji setelah terhitung mulai 22 November 2017 harus menyesuaikan 18 aturan impor hortikultura, hewan, dan hewani dengan ketentuan World Trade Organization.
Appelate Body World Trade Organization (WTO) telah memutuskan pada 9 November 2017 bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)1994, khususnya terkait dengan Pasal 11 Ayat 1 mengenai general elimination quantitative restriction.
Direktur Perundingan Multirateral Kementerian Perdagangan Jully Paruhum Tambunan menjelaskan sebagai konsekuensi putusan tersebut maka terhitung mulai 22 November 2017 Indonesia harus mengimplementasikan kebijakan WTO. Artinya, 18 ketentuan yang dipermasalahkan harus sudah mulai diubah dengan diawali tahap reasonable period of time (RPT).
Pada tahapan tersebut, sambungnya, Indonesia akan mulai melakukan negoisasi dengan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru sebagai pihak yang menggugat ketentuan impor Indonesia.
“Kalau aturan Menteri akan kita sesuaikan dengan aturan WTO tetapi kalau Undang-Undang tidak bisa kita ubah jadi tetap bertahan,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (22/11).
Jully menjelaskan 18 ketentuan yang digugat oleh AS dan Selandia Baru sebenarnya telah diubah seiring dengan proses persidangan yang saat itu masih berlangsung. Namun, sesuai hasil keputusan WTO maka Indonesia harus tetap menyesuaikan poin-poin yang dituduh oleh kedua negara tersebut.
Kendati demikian, dia menyatakan Indonesia tidak perlu khawatir akan adanya serbuan impor produk hortikultura, hewan, dan hewani. Pasalnya, masih banyak instrumen lain yang dapat digunakan untuk membendung masuknya komoditas tersebut ke dalam negeri.
“Sebenarnya tidak perlu khawatir karena ada safeguard atau trade remedy yang bisa kita pakai. Kalau ada indikasi dumping juga bisa kita inisiasi tuduhan dumping jadi banyak cara untuk mempertahankan kedaulatan pangan indonesia,” jelasnya.
Seperti diketahui, Selandia Baru dan AS melayangkan gugatan pada 2013 sebagai respons atas berbagai hambatan dagang nontarif yang diberlakukan Indonesia sejak 2011. Kedua negara tersebut mempermasalahkan pembatasan kuota impor sapi dan ayam serta beberapa jenis buah dan sayur oleh pemerintah.
Namun, Indonesia telah menghapus sistem kuota impor sapi sejak paruh kedua 2016. Kemendag menyatakan pemerintah telah melakukan sejumlah deregulasi sehingga sudah ada berbagai perubahan kebijakan.