Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) terus berupaya menyusun berbagai data terkait indikasi kerugian negara pada sektor pertambangan batubara.
Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW mengatakan, bahwa pihaknya tengah mempersiapkan data detail dugaan indikasi kurang bayar pajak dan royalti yang diduga dilakukan oleh berbagai badan usaha pertambangan (BUP).
Indikasi kurang bayar tersebut diperoleh dari perbandingan data produksi dan ekspor batu bara yang selama ini telah diteliti secara mendalam oleh ICW.
“Mungkin akhir bulan ini atau awal bulan depan kami akan roadshow ke Kemnterian Keuangan atau Ditjen Pajak karena kita harus buat laporan detailnya per perusahaan,” katanya, Senin (20/11/2017).
ICW menemukan indikasi kerugian negara dari sektor pertambangan batubara selama 2006-2016 mencapai Rp133,6 triliun yang berasal dari transaksi kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar yang mencapai US$27,062 miliar atau setara dengan Rp365,3 triliun dengan kurs Rp13.500/dolar AS.
Rinciannya, US$1,455 miliar pada 2006 dan mengalami kenaikan pada periode 2010-2013 dan terakhir pada 2016 mencapai US$2,917 miliar.
Baca Juga
Total Kerugian
Menurut Firdaus total nilai transaksi yang kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar akan berdampak pada keuangan negara baik dari sisi penerimaan rolyalti maupun pajak.
Adapun secara keseluruhan nilai indikasi kerugian negara mencapai angka Rp133,6 triliun terdiri dari kewajiban pajak sebesar Rp95,2 triliun dan royalti atau dana hasil penjualan batubara sebesar Rp38,5 triliun.
Kementerian ESDM mencatat data produksi batubara di Indonesia selama 2006-2015 sebanyak 3.315 juta ton, sementara BPS mencatat 3.255,2 juta ton. Dengan kata lain, terdapat selisih data produksi sebesar 49,1 juta ton.
Perbedaan data juga ditemukan pada data ekspor terutama antara data Indonesia dan negara pembeli. Berdasarkan data yang dicatat oleh Kementerian Perdagangan selama 2006-2-16 volume ekspor batubara mencapai 3.421 juta ton. Sementara, data negara pembeli justru sebanyak 3.147,5 juta ton sehingga terdapat selisih sebanyak 299,8 juta ton.
Produksi batubara Indonesia pada 2006-2015 mencapai 3.266,2 juta ton, sehingga sektor pertambangan batu bara menjadi slaah satu sektor produksi SDA uang penting dan dapat berpengaruh signifikan terhadap keuangan negara.
“Namun pada sisi lain, kendati berpotensi menghasilkan penerimaan negara dalam jumlah yang tinggi, penerimaan negara dari sektor ini masih belum optimal,” urainya.
Masalah Batubara
ICW juga menemukan permasalahan lain dalam pengelolaan batubara di antaranya kontribusi penerimaan pajak yang rendah. Pada 2016, penerimaan dari sektor pertambangan minerba berada pada angka 16,23% untuk batubara dan 4,51% untuk mineral yang berarti hanya berkontribusi 2% terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
Selain itu, rasio pajak dari sektor pertambangan minerba juga terbilang rendah. Pada 2016, tax ratio pertambangan minerba mencapai 3,88% yang mengalami penurunan dari tax ratio 2015 yakni sebesar 4,72%.
Tidak hanya itu, kepatuhan pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak (SPT) dari sektor pertabangan pun minim, pada 2015, hanya 3.580 WP yang melapor, sedangkan 4.253 WP lainnya tidak membuat laporan. Dari sisi program pengampunan pajak pada 2016, hanya 967 WP dari 6.001 WO pertambangan minerba yang mengikuti program tersebut.
Jumlah uang tebusan dari WP pertambangan minerba yang mengikuti program pengampunan pajak pun tidak mencapai angka yang menggembirakan yakni total nilai tebusan Rp22,71 miliar, sedangkan rata-rata tebusan Rp229,27 juta.
Berbagai permasalahan yang diuraikan itu menurut ICW harusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah mengingat kondisi penerimaan negara saat ini baik pajak maupun PNBP sedang menghadapi berbagai persoalan seperti shortfall dan menurunnya tax ratio.
Sejauh ini ICW telah melayangkan laporan resmi kepada KPK untuk melanjutkan kegiatan koordinasi dan supervisi minerba dengan fokus pada aspek penegakan hukum dan lembaga itu diminta membongkar indikasi keterlibatan elit bisnis dan politik dalam praktik penyimpangan SDA.