Bisnis.com, JAKARTA-- PT Astra Infra Toll Road menargetkan penambahan jalan tol baru sepanjang 150 kilometer guna mencapai target pengoperasian jalan tol sepanjang total hingga 2020.
Direktur Astra Infra Toll Road Wiwiek Santoso mengemukakan, perseroan saat ini perseroan telah memiliki jalan tol sepanjang 353 kilometer, di mana 268 kilometer di antaranya telah beroperasi.
Pihaknya pun mengaku tengah mengkaji peluang penambahan ruas tol baru, apakah dari proses lelang yang dilakukan pemerintah ataupun melalui proses akuisisi.
"Target 150 km akan kita penuhi dengan berbagai cara, tergantung kesempatan yang ada dari tahun ini hingga 2020. Kalau ada [jalan tol] yang mau dilepas dan cocok kita ambil, kalau ada tender yang menarik, kita ikut juga," ujarnya dalam diskusi media bertajuk Peran Pemerintah, Swasta dan Media dalam mendukung Percepatan Pembangunan Tol Trans Jawa, Rabu (08/11).
Menurutnya, jalan tol saat ini memang menjadi penopang utama pendapatan Astra Infra, dengan kontribusi sebesar 71%. Sementara lini bisnisnya yang lain seperti air bersih menyumbang 28%, dan sisanya merupakan kontribusi bisnis pelabuhan dan pusat logistik berikat.
Berdasarkan data Astra Infra, empat dari enam ruas jalan tol yang kini dikelola perseroan diperoleh dari proses akuisisi, sementara satu ruas yaitu Serpong—Balaraja senilai Rp6,2 triliun diperoleh melalui proses lelang di mana Astra Infra menjadi pemrakarsa proyek dengan kepemilkan 25%, bersama dengan PT Bumi Serpong Damai sebesar 50% dan PT Transindo Karya Investama yang merupakan anak usaha Kompas Group sebesar 25%. Sementara tol Kunciran—Serpong diperoleh melalui proes lelang pada 2007.
Adapun ruas-ruas yang telah diakuisisi Astra Infra antara lain tol Tangerang—Merak sebesar 79.3% pada 2005, Jombang—Mojokerto sebesar 100% pada 2011. Bahkan dalam setahun terakhir, anak usaha PT Astra International Tbk ini mengakuisisi satu ruas baru yaitu Cikopo—Palimanan dan menambah kepemilikannya dalam ruas tol Semarang—Solo.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia Hery Trianto yang turut hadir dalam diskusi tersebut menilai pembiayaan masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, peran swasta sangat dibutuhkan untuk melengkapi keterbatasan anggaran negara.
"Kita tidak menikmati kemewahan pendanaan seperti zaman booming minyak tahun 70-an. Sekarang trennya justru pelambatan pendanaan karena [penerimaan] pajak masih kurang," ujarnya.
Menurutnya, perusahaan swasta cenderung berhati-hati dalam berinvestasi di infrastruktur yang membutuhkan jangka waktu panjang dalam pengembaliannya.
Dia menyebut sejumlah perusahaan swasta seperti Bakrie dan MNC yang sempat terlibat dalam pembangunan jalan tol pun telah melepaskan kepemilikannya pada pihak lain.
Kendati demikian, dia menilai saat ini menjadi momentum yang tepat bagi swasta untuk terlibat dalam infrastruktur. Pasalnya BUMN penggarap proyek infrastruktur mulai melepas/melakukan sekuritisasi atas proyek-proyek yang telah menghasilkan keuntungan.
"Risikonya lebih kecil karena sudah terbangun. Kita ingin negara ini maju dan punya infrastruktur yang bagus, karena pembangunan infrastruktur menandakan setidaknya peradaban itu mulai dibangun," ujarnya.