Bisnis.com, JAKARTA—Persatuan Insinyur Indonesia meminta pemerintah mendorong program profesi keinsinyuran di perguruan tinggi di Tanah Air sebagai upaya mendapatkan sumber daya manusia yang andal untuk menopang pertumbuhan industri.
Tresna P. Soemardi, Ketua Umum Badan Kejuruan Mesin (BKM) Persatuan Insinyur Indonesia (PII), menyampaikan saat ini jumlah perguruan tinggi yang memiliki program profesi bersertifikasi masih terbatas, hanya 18 perguruan tinggi.
"Targetnya program ini bisa diterapkan di 40 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, bahkan semestinya nanti akan diwajibkan kepada semua perguruan tinggi negeri atau swasta," kata Tresna kepada Bisnis, Selasa (24/10/2017).
Menurutnya, pembinaan terhadap insinyur nasional adalah langkah utama dalam perbaikan sektor industri. Para lulusan profesi keinsinyuran ini diharapkan memiliki ketangkasan yang sesuai dengan kebutuhan manufaktur pada saat ini.
Dia menambahkan saat ini telah ada 40 perguruan tinggi yang memiliki surat keputusan (SK) dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk menjalankan program profesi keinsinyuran. Akan tetapi, sebagian besar dari jumlah universitas tersebut belum mempunyai dosen yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
"Program profesi ini tidak hanya akan menitikberatkan kepada pembelajaran secara teoritis, tetapi juga ke praktik. Calon insinyur ini akan lebih lama intership ke tempat manufaktur dibandingkan dengan duduk di kelas," ujarnya.
Indonesia hanya memiliki 3.038 insinyur dari 1 juta penduduk, terpaut jauh dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 28.235 insinyur. Selain itu, Thailand dari setiap 1 juta penduduk ada 4.121 insinyur, Philipina 5.170 insinyur, dan Vietnam ada 8.917.
Sementara itu, guna meningkatkan pertumbuhan industri secara positif maka peran dari R&D mutlak dibutuhkan. Hal ini mengingat dana untuk R&D di Indonesia masih terbilang minim, yakni hanya sekitar 0,1% dari produk domestik bruto (PDB) Tanah Air. Padahal negara lain di Asia memiliki anggaran yang lebih besar seperti Malaysia 1,25%, China 2%, Singapura 2,20%, Jepang 3,60%, Korea Selatan 4%.
"R&D Indonesia masih tertinggal, padahal pertumbuhan ekonomi suatu negara ditopang oleh inovasi dan teknologi yang diciptakan oleh riset dan pengambangan ini," ungkapnya.
Tresna menjelaskan jika pemerintah belum bisa memberikan anggaran yang cukup untuk R&D nasional maka dapat mengambil langkah seperti mewajibkan seluruh industri nasional berinvestasi di bidang penelitian dan pemngembangan. Pemerintah dapat memberikan berbagai insentif bagi menumbuhkan minat industri manufaktur untuk berinvestasi pada bidang R&D.