Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah tengah mengkaji insentif pajak untuk mendorong pabrikan otomotif memproduksi masal mobil emisi rendah (low carbon emission car/LCEV) dengan harga terjangkau.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika I Gusti Putu Suryawirawan menyatakan pemerintah tengah mengkaji skema penurunan pajak penjualan barang mewah terhadap produk tersebut.
“Struktur perpajakan yang menarik masih dikaji Badan Kebijakan Fiskal. Nanti begitu angkanya turun berapa itu keluar, langsung kita announce,” ujarnya di Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Pengembangan LCEV merupakan prioritas pemerintah untuk menggerakkan sektor otomotif. Sebelumnya pemerintah juga sudah pernah memprioritaskan pengembangan mobil LCGC (low cost green car).
Program pengembangan LCGC dulunya menitikberatkan kepada mobil murah yang konsumsi bahan bakarnya efisien, yaitu setiap liter minimal dapat menempuh jarak 20 kilometer. “Prinsipnya LCEV itu mobil hemat bahan bakar dan terjangkau pada produk hibrid dan listrik,” ujarnya.
Struktur perpajakan yang berlaku saat ini masih sekadar mendorong pabrikan otomotif di Indonesia menggenjot produksi mobil kategori sport utility vehicle dan multipurpose vehicle. Sementara itu, produksi masal sedan tertahan oleh kebijakan pajak penjualan barang mewah yang cukup tinggi.
Pabrikan umumnya memprioritaskan impor utuh ketimbang memproduksi atau merakit sedan di dalam negeri. Padahal, pabrikan juga mesti menanggung bea masuk yang cukup tinggi. Pengenaan pajak penjualan barang mewah pada mobil sedan ditetapkan sebesar 30%.
Pajak itu tiga kali lipat lebih tinggi ketimbang pajak yang dikenakan pada mobil jenis SUV dan MPV sebesar 10%. Sedan kerap dilabeli sebagai produk high end yang layak memperoleh pajak yang lebih tinggi.
“Car manufacturer yang sudah investasi di sini masih wait and see apa struktur pajak yang nanti ditawarkan itu menarik. Mereka menyatakan siap untuk memproduksi asalkan struktur pajaknya lebih menarik,” ujarnya.
Putu menyatakan pabrikan otomotif memprediksi masa transisi ke produk LCEV tak memerlukan masa pengujian yang terlalu lama. “Bedanya kan hanya pada spesifikasi mesin. Kesiapannya itu cuma tinggal menyesuaikan pasar, mereka banyak yang siap tapi belum berani produksi masal,” ujarnya.
Menurutnya, skema insentif perpajakan yang dipersiapkan pemerintah nantinya lebih memprioritaskan pabrikan yang memproduksi ketimbang sekadar impor LCEV. “Kalau bisa produksi kenapa harus impor. Impor completely built up juga boleh, enggak ada yang larang, tapi nanti kena pajaknya tinggi banget,” ujarnya.