JAKARTA—Pabrikan elektronik meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap produk impor illegal. Peredaran produk impor illegal menjadi salah satu faktor penekan angka penjualan elektronik pada tahun ini.
Presiden Direktur PT Cosmos Indonesia Dharma Surjaputra menyatakan pabrikan elektronik sulit mencapai pertumbuhan penjualan dua digit tatkala pasar elektronik tengah stagnan. Terlebih, peredaran produk impor ilegal membanjiri pasar.
“Kalau pengawasan terhadap produk impor illegal terus diperketat, itu akan sangat membantu sekali untuk mendongkrak penjualan elektronik,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/9).
Dharma menyatakan pabrikan elektronik juga semakin cemas dengan rencana pemerintah untuk mengurangi lartas impor. “Dari yang awalnya menekankan syarat impor menjadi sebatas syarat edar. Tapi bagi kami pertanyaannya adalah, apakah dengan demikian pemerintah sudah siap untuk meningkatkan pengawasan?” ujarnya.
Terlebih, penjualan produk home appliances yang biasanya melejit ketika Lebaran nyatanya juga tak sesuai ekspektasi.
Salah satu komoditas yang akan dipermudah pengawasan masuk ke pabean adalah produk baja, atas kebijakan pemerintah tersebut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai seharusnya impor baja tetap dipersulit. Pasalnya, dalam era perdagangan bebas, pembatasan barang impor sulit dilakukan dengan menaikkan bea masuk atau tarif.
Baca Juga
“Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah impor adalah mempersulit prosedur izin barang impor alias kebijakan proteksi nontarif,” jelasnya.
Berdasarkan data WTO per 2016, sambungnya, jumlah hambatan nontarif Indonesia hanya 272. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan China sebanyak 2.194 dan Malaysia 313.
Tunda Ekspansi
Situasi yang tak menentu tersebut menyebabkan perusahaan elektronik menunda rencana ekspansi. Awalnya, Cosmos berencana menambah pabrik di Jawa Tengah untuk meningkatkan kapasitas produksi. Situasi pasar yang belum bergairah dan maraknya produk impor illegal memaksa perseroan untuk menunda rencana tersebut.
“Makanya kami tunda dan melihat situasi ekonomi dulu. Bila pasar sudah kembali membaik, baru kita perbesar kapasitas,” ujarnya.
Menurutnya, daya saing pabrikan elektronik juga bergantung kepada tarif listrik. Semakin tinggi tarif yang dikenakan kepada industri, semakin rendah daya saing produk dengan barang impor.
Di samping itu, beban biaya tambahan lain untuk pengemasan elektronik juga terasa semakin tinggi.
Dharma menyatakan produsen elektronik juga semakin terimpit dengan sulitnya akses memperoleh pasokan material pengemasan, yakni karton box. “Sekarang itu pabrikan elektronik tidak bisa mengimpor packaging karton box, pasokan domestiknya sangat terbatas. Sementara harga yang ada di dalam negeri melonjak tinggi sekali,” ujarnya.
GM Penjualan dan Pemasaran PT Sharp Electronics Indonesia Andry Adi Utomo menyatakan kenaikan permintaan elektronik sebatas terjadi pada produk-produk premium. Terutama pada produk high end dengan kisaran harga Rp7 juta ke atas. Fenomena tersebut memicu pabrikan elektronik saling berlomba meluncurkan produk premium.
“Penjualan untuk elektronik tahun ini overall masih cukup berat. Pengecualiannya mungkin cuma di penjualan gadget yang masih tumbuh agresif, kalau secara umum industri elektronik lagi susah-susahnya,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia Ali Soebroto menyatakan penjualan elektronik pada tahun ini kembali melanjutkan tren perlambatan seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Melandainya permintaan menyebabkan pabrikan mengurangi utilisasi. “Bisa dibilang semester pertama tahun ini sama sekali belum terlihat adanya gejala perbaikan,” ujarnya.