Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk merevisi ambang batas PTKP dinilai cukup berisiko.
Meski belum diputuskan apakah ambang batas PTKP akan dinaikkan atau diturunkan, ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan perubahan PTKP diproyeksi memengaruhi perilaku wajib pajak menjadi tax avoidance atau memicu penghindaran pelaporan pajak jika batas PTKP-nya diturunkan.
"Apalagi, bagi wajib pajak baru, rencana untuk menurunkan ambang batas PTKP pun terlalu berisiko," ujar Bhima pada Minggu (23/7/2017).
Sebelumnya, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan revisi PKP dan PTKP harus sesuai dengan Upah Minimum Provinsi. “Saya usul ini sesuai dengan UMP, karena dengan PTKP Rp54 juta per tahun, Kantor Wilayah Yogyakarta penerimaannya jatuh."
Menurutnya, kebijakan soal batasan PTKP dan Pengusaha Kena Pajak atau PKP di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Di Malaysia contohnya, batasan PTKP di negeri jiran itu hanya Rp13 juta atau jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang PTKP-nya mencapai Rp54 juta.
Selain itu, kebijakan penentuan PKP juga jauh berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia dan Filipina threshold bagi pengusaha kena pajak senilai Rp1 miliar.
Sedangkan di Indonesia, sesuai PMK Nomor: 197/PMK.03/2013 ambang batas PKP senilai Rp4,8 miliar. Kebijakan itu dinilai cukup banyak memberikan kelonggaran kepada wajib pajak.
Padahal jika melihat postur PDB Indonesia, sekitar 58% masih ditopang oleh UMKM. Artinya, jika pendapatan UMKM tersebut lebih rendah dari Rp4,8 miliar maka mereka tidak masuk dalam PKP.
Selain perbedaan di PTKP dan PKP, tarif pajak Indonesia juga relatif rendah, jika Malaysia dan Vietnam bisa 10%, Indonesia hanya 5%.
“Ke depannya pajaknya harus lebih banyak, saat ini kalau ada orang omzetnya Rp4,8 miliar tidak bayar pajak. PTKP di Malaysia hanya Rp13 juta, di Indonesia Rp54 juta per tahun. Lalu, di sana jaminan kesehatan dipajaki, di sini tidak. Kalau tax ratio dari PPN setiap tahun kita makin naik,” ungkapnya.
Adapun, pertengahan tahun lalu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/PMK.010/2016 tentang penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Terbitnya aturan itu merevisi batasan PTKP dari baseline sebelumnya yakni Rp36 juta menjadi Rp54 juta pertahun. Beleid itu sekaligus mencabut PMK No.122/PMK.010/2015.
Implikasi kenaikan baseline PTKP juga menggerus basis wajib pajak yang harus melaporkan SPT.
Tahun lalu, sebelum regulasi tersebut diterbitkan jumlah wajib pajak yang wajib menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) sekitar 20,2 juta.
Namun seiring implementasi kebijakan tersebut, jumlah WP wajib lapor SPT menyusut menjadi 16,6 juta.
Imbas kenaikan PTKP itu juga membuat kepatuhan wajib pajak khususnya WP orang pribadi karyawan anjlok.
Data Ditjen Pajak menunjukkan hingga April 2017 11,3 juta WP menyampaikan SPT-nya. Jumlah itu terdiri dari WP Badan sebanyak 591.577 SPT, WP OP non Karyawan 999.087 SPT dan WP OP Karyawan 9,7 juta.
Sementara tahun lalu, total wajib pajak yang melaporkan SPT sebanyak 11,5 juta terdiri dari WP badan sebanyak 578.198 SPT, WP OP non Karyawan 734.131 SPT dan WP OP Karyawan 10,2 juta SPT.
Jika mencermati angka tersebut, jumlah WP OP Karyawan tercatat menyusut dari 10,5 juta SPT pada tahun 2016 menjadi 9,7 juta OP.