Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ditjen Pajak Mulai Perketat Pengawasan terhadap Penjualan Tekstil

Direktorat Jenderal Pajak memastikan tak ada larangan bagi pengusaha tekstil untuk mendistribuskan produknya ke pembeli non pengusaha kena pajak.
Ilustrasi kegiatan di pabrik tekstil/Reuters
Ilustrasi kegiatan di pabrik tekstil/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA—Direktorat Jenderal Pajak memastikan tak ada larangan bagi pengusaha tekstil untuk mendistribuskan produknya ke pembeli non pengusaha kena pajak.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan instansinya tak pernah membuat regulasi yang menghambat penjualan industri.

“Sebenarnya bagi industri, yang kita syaratkan itu pembelinya mesti punya nomor pokok wajib pajak, bukannya harus pengusaha kena pajak,” ujar Hestu Yoga di Jakarta, Rabu (19/7).

Menurutnya, memang banyak industri dan pedagang penyerap produk tekstil yang masuk ke dalam kategori non pengusaha kena pajak. Asumsi itu mengacu kepada omzet yang dilaporkan pembayar pajak di dalam SPT tahunan.

Pengusaha kena pajak hanya merujuk kepada mereka yang memiliki omzet bisnis di atas Rp4,8 miliar. Di luar itu, pembeli produk industri tekstil tidak dikenakan pajak.

“Pengusaha itu hanya perlu menjual barangnya dengan mencantumkan identitas pembeli beserta NPWP. Tapi masalahnya memang banyak pengusaha yang ingin bersembunyi, dengan tidak mau masuk ke dalam sistem perpajakan,” ujarnya.

Padahal, pengenaan pajak pertambahan nilai pada pembelian produk tekstil hanya dikenakan kepada konsumen akhir. “Jadi memang tidak ada larangan menjual kepada non PKPK, cuma memang Ditjem Pajak meminta data pembeli produknya,” ujar dia.

Laporan itu dijadikan sebagai data untuk memeriksa omzet pengusaha. “Memang kenyataannya banyak yang bandel, perlu mekanisme enforcement untuk menimbulkan efek jera. Supaya mereka yang sudah patuh mendapat keadilan,” ujar dia.

Menurutnya, pengetatan kepatuhan pajak menjadi prioritas pemrintah untuk bisa meraih target rasio pajak terhadap PDB sebesar 16%. Tax ratio di Indonesia masih sekitar 10,3%. Artinya masih banyak kegiatann ekonomi yang belum dikenakan pajak. Tax ratio Indonesia erada di bawah negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia (13%), Singapura (13%), dan Vietnam (16%).

“Supaya tax ratio minimal bisa 16%, maka sudah tidak bisa mundur lagi, sesuai arahan Menteri Keuangan. Masyarakat, pengusaha, dan investor semuanya harus saling mendukung,” ujar dia.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menyatakan tak sedikit pembeli produk tekstil hulu dan antara yang mengklaim sebagai pedagang kecil dan industri skala kecil. Pengetatan kepatuhan terhadap wajib pajak pasca tax amnesty membuat penyerapan produk barang impor beresiko lebih laris ketimbang hasil industri.

“Makanya mereka lebih cenderung memilih untuk mendapat barang bukan dari industri, tapi dari impor beresiko itu. Karena kalau dia dapat barang dari importir beresiko ga perlu menyertakan faktur pajak,” ujar dia.

Menurutnya, pemerintah mesti mengutamakan penyerapan produk tekstil hulu ketimbang membuka peluang importasi dalam skala besar.

“Ditjen Pajak kan ga dapat PPh dari importir, harusnya kami sebagai produsen dalam negeri yang dilindungi. Supaya minimal bisa menjadi tuan rumah di dalam negeri. Kalau bisa kurangi importir beresiko, saya yakin penerimaan pajak pemerintah juga terbantu,” ujar dia.

Ade menyatakan penjualan tekstil di semester pertama lebih banyak bertumpu dari pasar ekspor. Tren penjualan produk tekstil di pasar ekspor menunjukkan tren pelemahan dalam beberapa tahun terakhir.

“Tapi justru ekspor ada kenaikan 0,6% di semester pertama. Permintaannya turun tapi nilainya yang naik. Artinya apa? Daya saing kita membaik,” ujar Ade.

Salah satu penyebab peningkatan itu antara lain banyaknya relokasi industri tekstil ke Jawa Tengah. Hasilnya, output industri menjadi lebih produktif dan efisien karena pola pengupahan yang lebih kompetitif.

“Untuk meningkatkan ekspor lagi, insentif pendorong yang dibutuhkan adalah perluasan akses pasar. Kalau kita bisa bebas beamasuk ke Uni Eropa, saya yakin paling tidak ekspor ke Eropa bisa naik 100%,” uja dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper