Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Belum Perlu Impor Jangka Panjang LNG

Diproyeksikan Indonesia belum perlu mengimpor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dalam jangka panjang karena selisih pasokan dan suplai dari dalam negeri masih relatif kecil.
FLNG Petronas. /petronas
FLNG Petronas. /petronas

Bisnis.com, JAKARTA--Diproyeksikan Indonesia belum perlu mengimpor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dalam jangka panjang karena selisih pasokan dan suplai dari dalam negeri masih relatif kecil.

Senior Expert Gas&Power Wood Mackenzie Edi Saputra mengatakan terdapat masa kekurangan pasokan dalam volume yang kecil pada tahun 2020 dan 2025. Dia pun memperkirakan Indonesia belum perlu membuat kontrak impor LNG dalam jangka panjang.

Paling tidak, terdapat dua alasan yang mempengaruhi keputusan impor LNG untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri. Pertama, ketercapaian proyek dan utilitas pembangkit gas.

Menurutnya, meskipun dari 35.000 mega watt (MW), sekitar 14.000 MW merupakan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) namun kebutuhan gas tak bisa dihitung secara linier. Pasalnya, penggunaan gas nantinya akan dihadapkan dengan beberapa proyek skala besar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang bersumber dari batubara yang beroperasi. Lebih murahnya biaya operasi PLTU membuat kecenderungan utilisasi gas pada PLTG bisa saja lebih rendah.

Kedua, berakhirnya kontrak ekspor LNG. Dia menilai bila pemerintah menarik semua alokasi ekspor ke dalam negeri, maka impor jangka panjang tak perlu dilakukan. Dia menganggap kemampuan lapangan gas domestik dapat memenuhi kebutuhan gas dalam negeri.

"Perkiraan kita itu 2020 dan 2025 ada small gap tapi tidak signifikan jadi belum diperlukan longterm import sampai 2025," katanya.

Di sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa harga LNG akan naik. Oleh karena itu, meskipun terdapat tekanan dari konsumen seperti ketenagalistrikan dan industri agar mendapat harga gas yang lebih murah, pemerintah, katanya, sebaiknya tak menetapkan batas harga jual gas yang terlalu rendah. Pemerintah, katanya, selain perlu menjamin keterjangkauan tapi juga ketersediaan.

Bila batas harga yang ditetapkan terlalu rendah, pengembangan lapangan gas di hulu akan terganggu karena harga yang ditawarkan belum memenuhi skala ekonomi. Kalau harganya terlalu rendah, tak akan ada tersedia pasokan gas karena pengembangan lapangan gas terhenti.

"Kalau itu terlalu restriktif, maka hasilnya tentu bukan mendapat yang diinginkan tapi justru supply scarcity, enggak ada supply yang akan bisa memenuhi itu," katanya.

Sebelumnya, VP LNG Pertamina Didik Sasongko mengatakan saat ini pihaknya belum akan menambah impor LNG dalam waktu dekat. Dia menyebut, saat ini perlu melihat pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan gas dalam negeri lebih dulu.

"Kita hold dulu, lihat ekonomi dan keperluan," ujarnya usai menghadiri acara Gas Indonesia Summit&Exhibition di Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Dia mengasumsikan bila pembangkit berkapasitas 14 giga watt (GW) terbangun di 2019, maka dibutuhkan pasokan 1.100 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd) gas atau sekitar 8 juta ton. Di balik ketidakpastian pengembangan lapangan gas dalam negeri, pihaknya telah mengamankan pasokan dari luar negeri.

Berdasarkan catatan Bisnis, terdapat kesepakatan pasokan LNG yang diteken sebelumnya. Pertama, kesepakatan jangka panjang Total dengan Pertamina untuk pasokan LNG sebesar 0,4 sampai 1 juta ton per tahun yang dimulai pada 2020 dan berlangsung selama 15 tahun. Pasokan tersebut berasal dari Proyek Corpus Christi, Amerika Serikat. Sebagai gantinya, Total bakal memasok LNG ke Pertamina dengan volume yang sama yakni 0,4-1 juta ton per tahun.

Kedua, Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli gas (PJBG) dengan anak usaha Cheniere Energy Inc yakni Corpus Christi Liquefaction Liability Company untuk memasok 0,76 juta ton per tahun LNG mulai 2019 selama 20 tahun.

Ketiga, Pertamina juga sudah berkontrak dengan Cheniere Energy dengan volume yang sama namun dimulai pada 2018 dengan durasi 20 tahun. Keempat, Pertamina meneken kesepakatan (head of agreement/HoA) LNG dari ExxonMobil sebanyak 1 juta ton per tahun selama 20 tahun mulai 2025.

Terakhir, dari Woodside Singapore akan dipasok sekitar 0,6 juta ton per tahun yang bisa ditingkatkan menjadi 1,1 juta ton per tahun. Pasokan 0,6 juta ton per tahun mulai dikirim 2022-2034 dan bisa ditingkatkan menjadi 1,1 juta ton per tahun pada 2024-2038.

Dia menyebut, bila pasokan berlebih, perseroan akan mencari pembeli lain yang akan menyerap LNG tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper