Bisnis.com, JAKARTA--Besarnya beban yang ditanggung dan manajemen risiko yang kurang mumpuni dinilai sebagai penyebab utama tutupnya jaringan convenience store 7-Eleven di Indonesia.
Executive Director PPM Manajemen Bramantyo Djohanputro mengatakan jika regulasi yang dituding sebagai penyebab, maka mestinya ada bisnis lain denga model serupa Sevel yang juga tutup. Namun, hal ini tidak terjadi.
"7-Eleven (Seven Eleven/Sevel) high cost. Orang hanya nongkrong. Sehingga, kurang pas kelihatannya dengan modal kerja dan tingkat profitabilitas," sebut dia dalam kunjungannya ke Redaksi Bisnis Indonesia, Kamis (6/7/2017).
Bram menerangkan perusahaan yang memunyai fixed cost tinggi biasanya memiliki risiko yang besar. Dalam kasus Sevel, beberapa hal yang menjadi masalah adalah produk siap saji yang ditawarkan mempunyai risiko tidak terjual, waktu operasional hingga 24 jam, dan konsumen lebih banyak nongkrong.
"Selama dia tidak mampu mendorong penjualan, pasti kedodoran," tutur dia.
Selain itu, manajemen jaringan convenience store itu pun dipandang kurang mampu beradaptasi dalam bisnis ritel modern.
Seperti diketahui, pengelola Sevel yaitu PT Modern Internasional Tbk. (MDRN) awalnya bergerak dalam distribusi Fuji Film di Indonesia. Sebelum memutuskan menutup Sevel, perseroan sebenarnya berencana menjualnya ke PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) dengan nilai Rp1 triliun. Namun, rencana transaksi itu akhirnya batal.