Bisnis.com, JAKARTA- Konsultan bisnis ritel menilai perubahan regulasi di bidang toko modern tidak berpengaruh langsung terhadap keberlanjutan usaha ritel, termasuk terkait tutupnya convenience store 7-Eleven.
Christian F. Guswai, Managing Consultant dari Grow & Prosper Retail Consulting mengemukakan pebisnis ritel harus mampu beradaptasi dengan cepat atas segala bentuk perubahan, antara lain terkait terhadap perubahan regulasi, termasuk soal minuman beralkohol (minol).
Aturan minol tertuang dalam regulasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72/M-DAG/PER/10/2014 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
“Soal minol dengan sendirinya berdampak, mengingat Sevel buka 24 jam. Minol menjadi salah satu andalan,” kata Guswai.
Namun, ujarnya, toko modern mesti piawai dalam menghadapi segala perubahan regulasi. Antara lain dengan kemampuan mengendalikan biaya, mengendalikan faktor yang menggerus keuntungan seperti pencegahan kehilangan di proses pebisnis mulai penerimaan barang hingga penjualan.
“Regulator ketika mengeluarkan peraturan hendaknya mengajak bicara para stakeholder, seperti kalangan peritel, pemasok. Ini dalam rangka mengurangi dampak dari peraturan tersebut terhadap dunia bisnis,” kata Guswai.
Seperti diketahui Lembaga pemeringkat Fitch Ratingsmengemukakan tantangan yang dihadapi Sevel, antara lain soal regulasi ritel modern dan bisnis model yang dipilih berkontribusi terhadap keputusan Modern Internasional menghentikan operasional Sevel per 30 Juni 2017.
Menurut Fitch, penutupan sejumlah gerai Sevel secara bertahap mulai 2015 terjadi setelah Kementerian Perdagangan melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern di minimarket dan convenience store pada April 2015. Padahal, penjualan minol menyumbangkan 15% pendapatan Modern Internasional.
“Hal ini ditambah lagi dengan tidak jelasnya perbedaan antara Sevel yang berupa convenience store dengan rumah makan cepat saji (fast food) dan restoran berukuran medium di Indonesia,” lanjut lembaga itu.
Model bisnis dan risiko yang ditanggung Sevel disebut serupa dengan yang dihadapi restoran karena gerai-gerainya menawarkan makanan dan minuman ready-to-eat lengkap dengan area untuk duduk serta jaringan internet gratis. Akibatnya, Sevel mendapat persaingan ketat dari restoran cepat saji dan warung makan tradisional, yang sangat populer di Indonesia.
Di sisi lain, risiko bisnis ini sangat berbeda dengan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang menekankan penjualan produk groceries. Dua minimarket ini pun sudah memunyai jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia, sehingga menjadi kekuatan yang tidak dimiliki Sevel.