JAKARTA—Produsen baja lapis ringan PT NS Bluescope Indonesia bakal meminta perpanjangan safeguard atau pengenaan bea masuk terhadap baja lapis impor yang bakal berakhir Juli tahun ini.
Bluescope juga mengeluhkan upaya pengetatan impor baja yang hanya terpaku kepada produk-produk hulu. Sementara itu, pengawasan terhadap produk hilir masih belum optimal.
“Pengetatan impor seharusnya jangan hanya dilakukan di produk hulunya saja. Namun sampai ke finished product supaya mendapatkan equal treatment,” ujar VP Corporate & External Affairs NS Bluescope Indonesia Rhea Sianipar kepada Bisnis, Selasa (20/6).
Pengetatan impor di produk hulu akan menyebabkan produsen baja hilir kehilangan daya saing. Di satu sisi, produsen baja lapis kekurangan pasokan bahan baku cold rolled coil impor dengan harga kompetitif.
“Proteksinya di hulu ketat sekali karena ada safeguard untuk bahan baku cold rolled coil. Bagi kami jelas dampaknya kepada kenaikan struktur biaya,” kata dia.
Sementara itu, produsen baja lapis masih kesulitan menyaingi harga baja lapis impor yang membanjiri pasar domestik.
Menurutnya, produsen baja lapis ringan domestik juga sulit mengurangi struktur biaya produksi lantaran belum mendapat fasilitas penurunan harga gas seperti yang dijanjikan pemerintah. “Kalau di hulu mungkin sudah mendapat harga gas US$6 per mmbtu. Tapi bagi kami yang di midstream dan hilir harga gasnya masih di US$9,5 per mmbtu,” ujar dia.
Kapasitas terpasang pabrikan baja lapis domestik mencapai 800.000 ton per tahun. Permintaan domestik pada tahun ini diperkirakan mencapai 1,3 juta ton. Tingkat utilisasi pabrikan dipastikan semakin tertekan bila pengetatan impor hanya dilakukan di sektor hulu.
Badan Pusat Statistik mencatat volume impor baja pada Mei 2017 sebanyak 1,37 juta ton, atau naik 25,6% dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 1,09 juta ton. Nilai impor besi dan baja pada Mei 2017 senilai US$816 juta, atau naik 28% dibandingkan dengan April 2017 senilai US$637 juta.
Volume impor besi dan baja secara kumulatif periode Januari—Mei 2017 tercatat sebanyak 5,43 juta ton dengan nilai mencapai US$ 3,08 miliar. Nilai impor itu naik 31,48% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016, yaitu senilai US$2,3 miliar dengan volume sebesar 5,38 juta ton.