Bisnis.com, JAKARTA—Utilisasi pabrik baja nasional hanya mencapai maksimal 40%. Produksi tidak berjalan optimal karena produksi dalam negeri terhambat produk impor yang terus membanjiri pasar domestik.
Komposisi baja impor mencapai 60% dari total kebutuhan baja nasional yang tahun ini diprediksi mencapai 15 juta ton.
Harga baja China memang jauh lebih murah mengingat negara itu merupakan produsen baja terbesar dunia dengan biaya produksi yang ditopang pemerintah. Kendati demikian, industri lokal menyebut baja yang diimpor merupakan jenis yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Pelaku baja menyebut tekanan pada industri baja nasional terjadi karena produk baja impor masuk ke pasar Indonesia dengan cara-cara menyimpang, salah satunya dengan menyalahgunakan pos tarif baja paduan.
“Pengendalian impor memang belum optimal. Perlu ada peningkatan penggunaan produk lokal karena utilisasi kapastias industri baja sejauh ini masih stagnan,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Besi dan Baja Indonesia (Indonesia Iron and Steel Industry Association/IISIA) Hidayat Triseputro, Senin (19/6/2017).
Importir baja kerap melakukan modus memasukkan baja karbon ke Indonesia dengan mencampurnya dengan boron sehingga menjadi baja paduan. Bea masuk baja paduan atau alloy steel memang lebih murah yaitu 0%—5%, sedangkan bea masuk jenis HRC dan CRC dipatok 10%—15%.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor alloy steel melonjak 75,49% selama Januari—Mei 2017 (yoy) menjadi US$92,21 juta dari tahun lalu US$52,54 juta.
Produksi baja di China pada April 2017 mencapai 72,8 juta ton. Data dari Worldsteel Association menyebutkan angka produksi April naik 4,9% dibandingkan dengan total produksi April 2016.