Bisnis.com, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berencana melakukan sekuritisasi aset surat future cash flow pendapatan anak usaha PT Indonesia Power untuk mencari pendanaan pembangunan infrastruktur.
Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto mengatakan, aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang penjualan listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya. PLTU ini memiliki kapasitas 3.400 megawatt (MW) dan berkontribusi sekitar 12% pada sistem kelistrikan Jawa-Bali.
Dalam 1 tahun, penerimaan transaksi listrik PLTU Suralaya sebesar Rp12 triliun yang terbagi atas beberapa komponen, yaitu pengembalian investasi, pemeliharaan, bahan bakar; dan pelumas kimia, dan air.
Dalam kontrak PPA ini, nantinya akan mendapatkan Rp 2,5 triliun pertahun dari hasil penjualan sebesar Rp 12 triliun tersebut.
“Dalam jangka waktu 5 tahun ke depan sebesar Rp10 triliun akan dikembalikan dalam bentuk PPA [perjanjian jual beli listrik] atau kontrak jangka panjang yang sudah pasti,” kata Sarwono, Minggu (11/6).
Menurutnya, sekuritisasi PLTU itu bertujuan untuk mencari pendanaan dalam pembangunan infrastruktur yang mencapai Rp1.000 triliun. Selain itu, PLN juga terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) perbankan dan sumber-sumber pendanaan nasional.
Pendanaan yang sudah ada memiliki keterbatasan, sehingga PLN perlu memperluas permodalan. Saat ini, PLN sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank, penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), pinjaman dengan export credit agency (ECA), dan listrik swasta.
Sarwono menegaskan, tidak ada aset tetap PLN yang dijual dalam sekuritisasi aset. Aset pembangkit masih menjadi milik Indonesia Power dan tetap dicatat di buku konsolidasi PLN sebagai induk perusahaan, dengan kata lain tidak terjadi perpindahan aset tetap. “Demikian juga dengan kepemilikan saham, dengan sekuritisasi aset ini tidak ada pengalihan saham ataupun privatisasi,” tegasnya.