JAKARTA—Pabrikan makanan dan minuman mengeluhkan perubahan regulasi yang justru mempersulit impor bahan baku.
Beberapa kebijakan hasil deregulasi berujung pada sulitnya pabrikan mendatangkan bahan baku. Di sisi lain, pemerintah kian membuka lebar keran impor barang jadi makanan dan minuman tanpa menata peredarannya di dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyampaikan di era persaingan bebas, hasil deregulasi tersebut akan menurunkan daya saing industri mamin nasional.
“Harusnya terbalik, pemasukan bahan baku untuk industri dipermudah, importasi barang jadinya yang dikendalikan. Kebijakan tersebut dapat memperparah kondisi neraca mamin yang tahun lalu defisitnya mencapai US$800 juta,” jelas Adhi, akhir pekan lalu.
Kinerja ekspor mamin hingga kuartal pertama 2017 masih mencatatkan surplus. Kendati demikian, impor kerap melonjak pada saat menjelang hari besar seperti Idulfitri, perayaan Natal, dan Tahun Baru.
Adhi memaparkan saat ini pemerintah tengah membahas beleid mengenai impor sejumlah bahan baku karena dinilai telah tersedia di dalam negeri, seperti produk susu. Pemerintah menganggap produksi susu di dalam negeri mencukupi sehingga impor bahan bakunya tidak perlu mencapai 80%. Padahal, produsen susu telah menyerap seluruh produk susu lokal.
Selain itu, pengetatan pasokan juga terjadi pada gula mentah yang akan diolah menjadi gula rafinasi yang jumlahnya ditetapkan berdasar kuota. Apalagi, belum lama ini Kementerian Perdagangan mewajibkan produsen gula industri tersebut untuk melalui sistem lelang.
“Pengetatan impor bahan baku dan pelonggaran impor produk jadi akan mendorong lahirnya trader bukan mendorong pabrikan di dalam negeri,” ujar Adhi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan defisit neraca perdagangan mamin melonjak hingga US$800 juta tahun lalu dari US$250 juta tahun sebelumnya. Saat impor bahan baku diperketat, produk negara lain yang diproduksi dengan bahan baku lebih murah justru terus membanjiri pasar lokal.