Bisnis.com, JAKARTA—Industri tekstil mengharapkan dukungan pemerintah untuk menurunkan biaya listrik. Efisiensi biaya listrik diperlukan industri untuk menekan biaya pokok produksi dan meningkatkan daya saing produk.
“Secara umum energy cost untuk industri tekstil masih tinggi. Energy cost perlu diturunkan supaya bisa bersaing dengan negara lain,” ujar Presiden Direktur PT Asia Pacific Fibers Tbk. Ravi Shankar kepada Bisnis di Kementerian Perindustrian, Senin (22/5).
Ravi menyatakan biaya energi merupakan salah satu komponen biaya terbesar bagi industri tekstil. Menurutnya, biaya listrik yang dikenakan bagi industri tekstil di dalam negeri rata-rata senilai US$12 sen per kWh.
Sementara itu, negara negara pesaing utama Indonesia di bidang tekstil menetapkan tarif listrik yang jauh lebih kompetitif. Ia mengumpamakan pabrikan tekstil di Vietnam dan Bangladesh dikenakan biaya listrik senilai US$6-7 sen per kWh. Ketimpangan biaya energi itu, menurutnya, menjadi salah satu faktor stagnasi industri tekstil di dalam negeri.
“Kalau dilihat 3 tahun-4 tahun ke belakang growth tekstil di kita flat. Pada saat yang bersamaan India, China, Vietnam, Bangladesh tumbuh pesat sekali.”
Kebijakan pembatasan impor pun masih sulit membendung daya saing produk tekstil dalam negeri. Sebab harga produksi tekstil dari kelebihan kapasitas keempat negara itu lebih murah ketimbang produk domestik. “Produk tekstil kita belum kompetitif kalau dibandingkan dengan barang impor murah yang masuk dalam jumlah besar.”
Badan Pusat Statistik mencatat nilai investasi industri tekstil dan produk tekstil pada 2016 senilai Rp 7,54 triliun. Sektor itu berkontribusi terhadap ekspor senilai US$ 11,87 miliar. Penyerapan tenaga kerja industri tekstil mencapai 17 % dari keseluruhan tenaga kerja industri manufaktur.