Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah diminta bergerak cepat mengantisipasi tren perlambatan pertumbuhan sektor industri tekstil. Sebab sejumlah perusahaan pemintalan benang berencana menghentikan operasi lantaran merasa Indonesia bukan lagi pasar yang ramah investasi.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) berharap pemerintah segera mengeliminasi berbagai ketentuan yang tak berpihak kepada rantai industri itu sejak hulu hingga ke hilir. Salah satunya kebijakan pembatasan impor bahan baku tekstil.
Ketua Umum APSyFI V. Ravi Shankar menyatakan pembatasan impor bahan baku memang berdampak positif terhadap industri hulu tekstil. “Tapi dampaknya untuk industri antara dan hilir tekstil justru tidak begitu baik. Sebab harga di dalam negeri masih tinggi karena ongkos produksinya masih sangat mahal,” ujar Ravi dalam siaran pers Kamis (11/5).
Menurutnya, pemerintah perlu menyusun penetapan rencana kerja yang jelas bagi industri tekstil. Dengan demikian, para pelaku industri dapat mengambil keputusan investasi yang menentukan arah usaha. Paling tidak, peta jalan industri itu bisa dijadikan acuan selama jangka 15—20 tahun. “Tiongkok, India, Vietnam, dan Bangladesh mengungguli Indonesia karena punya visi industri yang jelas.”
Ravi menyatakan sudah banyak perusahaan tekstil yang menanggung kerugian karena harga bahan baku tekstil di dalam negeri semakin tinggi. Pembatasan impor tentu semakin mengerek harga pokok produksi domestik menjadi tidak kompetitif. Kecenderungan itu, berdampak langsung terhadap kestabilan rantai industri tekstil dan produk tekstil yang menjadi salah satu tulang punggung penyerapan tenaga kerja nasional.
Bila pemerintah tidak mengantisipasi persoalan tersebut, bukan tidak mungkin membuat produsen tekstil melakukan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah yang tidak sedikit. Komponen biaya lain yang membuat ongkos produksi semakin tidak kompetitif antara lain tingginya biaya gas dan listrik. Selain itu, kenaikan upah menjadi pos beban biaya yang juga perlu diperhatikan.