Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit mengklaim telah memenuhi kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat.
Pada 2007, Kementerian Pertanian mewajibkan setiap perusahaan membangun kebun plasma seluas 20% konsesi. Namun, semenjak 2013, Kementan tidak lagi mengharuskan perusahaan menyisihkan konsesinya melainkan cukup memfasilitasi kebun milik masyarakat yang setara dengan 20% luas konsesi.
Presiden Direktur Grup Asian Agri Supriadi Syam mengungkapkan kelompok usahanya saat ini menggelola 160.000 hektare (ha) perkebunan kelapa sawit. Rinciannya, 100.000 ha merupakan kebun inti sementara 60.000 ha kebun plasma.
“Perkebunan kami tersebar di Sumatra Utara, Riau, dan Jambi. Untuk kebun plasma kami juga yang pertama mendapat sertifikat RSPO,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dengan perusahaan perkebunan di Jakarta, Senin (17/4/2017).
Supriadi mengklaim seluruh kebun Asian Agri berada di area penggunaan lain (APL) dan memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU). Selain itu, kebun plasma mitra mereka juga berstatus legal alias tidak merambah kawasan hutan. Bahkan, tambah dia, Asian Agri pernah membatalkan kerja sama dengan kelompok tani di Riau yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kebunnya masuk kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo.
“Menurut pengakuan mereka kebunnya dulu berada di APL. Begitu tahu, kami langsung putus hubungan pada 2013 meskipun tadinya mereka punya sertifikat resmi,” katanya.
Sementara itu, GM Grup Wilmar Budi Haryoko mengakui kebun plasma Wilmar masih kurang dari 20% total luas lahan garapan. Kebun plasma baru 33.800 ha padahal kelompok usaha milik Martua Sitorus itu mengusahakan 245.500 ha kebun.
Meski demikian, Budi mengatakan jika menilik per entitas perusahaan maka terdapat anak usaha yang membangun plasma melebih ketentuan yang berlaku. Dia mencontohkan di Sumatra Barat plasma yang dibangun berkisar 30% sedangkan di Sumsel mencapai 50%.
Saat ini, Wilmar menggarap perkebunan kelapa sawit di tujuh provinsi. Menurut Budi, pembangunan plasma paling rendah berada di Kalimantan Tengah. Di Kalteng, Wilmar mengoperasikan tujuh perusahaan yang mana empat diantaranya belum membangun plasma.
“Empat perusahaan ini memang kami take over. Tapi kami akan alokasikan plasma dari lahan perkebunan inti tiga perusahaan yang lain di Kalteng,” ujarnya.