Bisnis.com,JAKARTA - Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah membentuk regulasi soal pajak dalam skema grossplit. Kebijakan soal perpajakan itu dinilai belum jelas dan tegas sehingga mengganggu iklim investasi di sektor migas.
Executive Director IPA Marjolijn Walong mengatakan pajak skema grossplit tersebut perlu dipertegas dan diperjelas secara rinci melalui regulasi agar kontraktor migas bisa menentukan anggaran dan beralih dari Cost Recovery ke Grossplit. Peraturan soal pembayaran pajak tidak tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Grossplit.
Di dalam Pasal 13 Permen ESDM no 8/2017, hanya menuliskan “Kontraktor wajib membayar pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perlakuan pajak penghasilan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi”.
“Rezim soal perpajakan Grossplit belum jelas. Perlu ada aturan yang lebih tegas. IPA akan menyampaikan hal ini kepada Kementerian ESDM,” katanya saat menghadiri media Briefing tentang Menilik Krisis Energi di Indonesia dari Sudut Pandang Ekonomidi Jakarta, Selasa (11/4).
Marjolijn Walong mengatakan kontraktor migas yang beralih dari skema Cost Recovery ke skema Grossplit akan kebingunan dalam pembayaran pajak. Kontraktor bisa saja salah menghitung tax. “Atau mungkin, ada tax yang tidak diketahui oleh kontraktor yang pada akhirnya harus dibayar,” katanya.
Dia berpendapat seharusnya Kementerian ESDM segera menentukan kebijakan bersama Kementerian Keuangan untuk menyusun regulasi. Menurutnya, kerja sama antar pihak kementerian juga perlu dipererat untuk penyusunan regulasi ataupun beleid agar kontraktor percaya dengan skema 53:47 itu.
Skema ini berpengaruh terhadap investasi di sektor mgas. Menurutnya, skema ini bisa saja membuat investasi di sektor migas lesu. Karena biaya yang harus dikeluarkan masih belum jelas. “Selain itu, pemerintah juga tidak menanggung risiko,” kata Marjolijn.