Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HIMKI Pede Bisa Ekspor Mebel US$5 Miliar

Kapasitas produksi industri sudah memadai untuk capai target ekspor
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Produsen mebel yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) optimistis bisa mencapai target ekspor US$5 miliar pada 2019 asal ada perbaikan regulasi dan iklim usaha.

Ketua Umum HIMKI Soenoto mengatakan pembenahan di industri furnitur dibutuhkan agar nilai ekspor industri mebel dan kerajinan bisa mencapai target US$5 miliar yang ditetapkan pemerintah.

Perbaikan regulasi dan iklim usaha, jelasnya, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berdampak pada kinerja ekspor produsen karena kapasitas produksi industri sudah memadai.

“Target US$5 miliar kami optimistis karena kapasitas kami sekarang baru terpakai sekitar 40%. Saya misalnya dulu bisa ekspor 70 kontainer sebulan, sekarang paling cuma 70 kontainer setahun,” kata Soenoto.

Data BPS yang diolah Kementerian Perindustrian menunjukkan nilai ekspor furnitur kayu Indonesia turun dari US$1,35 miliar pada 2015 menjadi US$,128 miliar pada 2016. Nilai ekspor furnitur dari rotan dan bambu juga merosot dari US$117,87 juta pada 2015 menjadi US$100,09 juta pada 2016.

Di sisi lain, nilai ekspor produk kerajinan hasil industri naik dari US$529,87 juta pada 2015 menjadi US$617,48 juta pada 2016.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Hubungan Antarlembaga HIMKI Abdul Sobur mengatakan tujuan ekspor utama industri mebel Indonesia adalah Amerika Serikat, yaitu sekitar 45% dari total nilai ekspor.

Ekspor ke AS, lanjutnya, tumbuh paling pesat dibandingkan ekspor ke negara lain. Potensi pasar furnitur AS bahkan diperkirakan mencapai US$111 miliar pada 2018.

Dia menilai tren tersebut merupakan bukti penerapan SVLK, yang dibutuhkan bagi produk bertujuan Uni Eropa, tidak berdampak besar bagi kinerja ekspor furnitur Indonesia.

Produk asal Indonesia, menurutnya, juga tidak diberikan keistimewaan di negara asal dibandingkan dengan produk asal negara yang tidak menerapkan sertifikasi hijau.

“SVLK itu padahal membebani produsen tambahan biaya Rp40 juta—Rp100 juta per perusahaan tiap bulan. Itu setara dengan Rp200 miliar setiap tahun,” kata Sobur.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper