Bisnis.com, JAKARTA--Pelaku usaha logistik mendesak adanya sinkronisasi peraturan antar instansi mengenai pemanfaatan pusat logistik berikat (PLB) dalam rangka mendongkrak daya saing logistik serta menghindari terjadinya kartel perdagangan suatu komoditas yang dapat merugikan perekonomian nasional.
Ketua ALFI DKI Jakarta, Widijanto mengatakan saat ini telah terjadi ketidaksinkronan aturan yang diterbitkan pemerintah terkait dengan PLB tersebut, terutama pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No:64/2016 tentang Ketentuan Pemasukkan dan Pengeluaran Barang Asal Luar Daerah Pabean ke dan dari Pusat Logistik Berikat dengan Permenkeu No:272/PMK.04/2015 tentang PLB.
“Kami rasakan kedua beleid itu bertolak belakang, sebab Permendag No:64/2016 membingungkan pelaku usaha yang telah memilii izin PLB karena semua barang bisa masuk ke fasiltas PLB tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (20-3-2017).
Menurut Widijanto, dalam pasal 2 ayat (1) Permendag No:64/2016 disebutkan semua jenis barang asal luar daerah pabean dapat dimasukkan ke PLB, sedangkan tujuan hadirnya PLB sebagaimana Permenkeu No:272/2015 yakni meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri yang berbasis bahan baku dan bahan penolong impor serta industri strategis lainnya.
Jadi sebaiknya, imbuh dia, untuk mensinkronisasikan kedua beleid itu dan agar tidak membingungkan dunia usaha, perlu dilakukan revisi terhadap pasal 2 ayat (1) Permendag No:64/2016 yakni hanya barang tertentu asal luar daerah pabean yang dapat masuk ke PLB.
“Jadi jangan semua jenis barang bisa masuk PLB tetapi harus yang berbasis bahan baku dan bahan penolong impor serta industri strategis,” tuturnya.
Widijanto mengatakan, berdasarkan kajian ALFI, jika tetap dipaksakan berjalan dengan adanya kebijakan Permendag itu selain akan merugikan perekonomian nasional terutama bagi kalangan pelaku industri di dalam negeri, juga berpeluang munculnya kartel perdagangan suatu komoditas.
Pasalnya, dia mengungkapkan justru Permendag No:64/2016 dinilai memberikan peluang bagi pedagang untuk menimbun barangnya di PLB untuk memainkan harga barang di pasar. “Bahkan untuk jangka panjang berpotensi menjadi penyebab deindustrialisasi di Indonesia,” paparnya.
Widijanto mengatakan, pada Februari 2017, asosiasinya sudah menyampaikan desakan secara tertulis untuk merevisi Permendag No:64/2017 khususnya pada pasal 2 ayat (1) itu supaya beleid tersebut mampu disinkronkanisasikan dengan aturan yang hadir sebelumnya yakni Permenkeu No:271/PMK.04/2015 tentang PLB.
Hal ini, kata dia, guna mendorong tujuan disiapkannya PLB yakni selain untuk menurunkan dwelling time dan biaya logistik, juga untuk memudahkan industri kecil dan menengah (IKM) di dalam negeri mampu berkonsolidasi dalam rangka memacu ekspor.