Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengejar wajib pajak pengusaha perikanan mengingat penerimaan pajak dari mereka hanya Rp986,1 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto subsektor perikanan.
Niat itu disampaikan Sri saat mengisi dialog 'Optimalisasi Peran Sektor Perikanan Tangkap dalam Pembangunan Nasional', di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Selasa (14/3).
Tax ratio itu, sambungnya, semakin tidak terlihat jika diperhitungkan dengan total perekonomian nasional, yakni hanya 0,01%.
"Jadi, saya sekarang akan minta tim pajak (mengejar WP yang tidak patuh). Saya tidak akan membiarkan saja," tegasnya.
Sri mengendus masalah sudah dimulai sejak tahap registrasi pengusaha perikanan.
Dalam catatan Kemenkeu, hanya 33% pelaku usaha perikanan yang terdaftar sebagai industri pengolahan perikanan, penangkapan dan budidaya ikan, serta perdagangan perikanan.
Selebihnya sebanyak 67% masuk ke dalam klasfikasi lapangan usaha (KLU) lainnya a.l. pegawai swasta, PNS, anggota militer, perdagangan eceran barang, dan jasa perseorangan.
Sri melihat registrasi yang melenceng dari KLU seharusnya menjadi cermin betapa masalah administrasi di Indonesia tidak diurus serius.
"Saya minta pada Dirjen Pajak, how could we allow, bagaimana kita membiarkan ada 1.454 perusahaan yang bahkan tidak menyampaikan SPT dibiarkan tetap beroperasi. Kan mestinya disegel saja. Lima tahun berturut turut tidak menyampaikan SPT, mestinya ditangkap saja, disegel perusahaannya, diambil kapalnya," ujarnya.
Problem berlanjut pada pelaporan surat pemberitahuan pajak (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) pengusaha perikanan tangkap. Jumlah WP yang melaporkan SPT tahunan pada 2015 tercatat 2.217, sedangkan yang tidak melaporkan 1.454. Dari WP yang melaporkan SPT tahunan PPh, 1.726 diketahui kurang bayar, dan hanya 450 yang nihil serta 11 yang lebih bayar.
Sekalipun pemerintah menawarkan pengampunan pajak, jumlah WP pengusaha perikanan tangkap yang mengikuti program itu hanya 1.697 atau 43,4% dari total WP pengusaha perikanan tangkap. Nilai harta yang dideklarasikan peserta tax amnesty itu Rp18.672 triliun dengan tebusan hanya Rp373,5 miliar.
Sri memberi waktu dua pekan kepada pengusaha perikanan lainnya untuk mengikuti tax amnesty sebelum program pemutihan itu berakhir 31 Maret.
"Kalau Anda enggak ikut tax amnesty, saya akan (mengharuskan Anda) bayar (denda) 2% kali 24 bulan. (Denda) 48% saya akan kejar Anda untuk tebusannya. Itu belum termasuk kurang bayarnya. Mulai 1 April, Pak Ken (Dirjen Pajak) dan timnya, akan cari bukti permulaan," katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam kesempatan yang sama mengatakan alih muatan kapal ikan (transhipment) ilegal telah mengurangi penerimaan negara karena jumlah ikan yang dilaporkan lebih rendah dari hasil tangkapan sesungguhnya.
"Akibatnya, penerimaan pajak dari pelaporan ikan itu jumlahnya lebih kecil dari yang seharusnya," ujar Susi.
KKP, kata dia, akan memastikan kepatuhan pengusaha melalui pengetatan proses izin dan pengawasan kegiatan operasional kapal di lapangan.
Instansinya juga akan memperkuat kerja sama dengan Kemenkeu mengenai pertukaran data sektor perikanan, sinkronisasi program dan kebijakan, serta peningkatan koordinasi pengawasan kepatuhan.
Pendiri sekaligus pemilik PT Ocean Mitramas Aries Liman mengungkapkan kebijakan KKP justru turut andil menekan penerimaan pajak dari perikanan tangkap.
Perusahaannya justru dimatikan pascamoratorium izin penangkapan ikan 2x6 bulan kendati perusahaannya dinyatakan memiliki tingkat kepatuhan baik berdasarkan hasil analisis dan evaluasi.
KKP justru meminta 13 kapal berbendera Indonesia milik perseroan berukuran 42-783 gros ton dihapus dari daftar kapal Indonesia (deregistrasi) dan direekspor.
"Hal tersebut tidak bisa kami lakukan karena kapal kami bukan dual flag (berbendera ganda) dan kalau dijual ke luar negeri tidak ada yang berminat karena terlalu kecil meskipun di Indonesia dianggap kapal besar. Pada saat yang sama, kami tidak diperbolehkan beroperasi hanya karena kapal itu buatan luar negeri," ungkap Aries.