Bisnis.com, JAKARTA - Importir sapi tak bisa memanipulasi data guna menghindari kewajiban pajak maupun mengambil untung yang tak wajar.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano menanggapi beberapa pemberitaan yang mengesankan importir sapi melakukan penghindaran pajak dan pengambilan untung yang tidak wajar.
Melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis, Selasa (7/3), Joni menyampaikan sebanyak 40 perusahaan penggemukan sapi tergabung dalam Gapuspindo, dimana 70% sapi bakalan diimpor dari Australia dan 30% bersumber dari sapi lokal.
Sebagai Importir Produsen dan memilik IT (Importir Terdaftar), mereka melakukan tiga kegiatan yang telah diatur secara ketat oleh Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, seperti melakukan importasi sapi bakalan.
Importasi sapi bakalan dilakukan setelah memperoleh Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan berdasar Permendag No.59/M-DAG/PER/8/2016. Penerbitan SPI tersebut setelah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang diatur dalam Permentan No.2/Permentan/PK.490/2/2017 atas perubahan Permentan No. 49/Permentan/PK.440/10/2016.
Yang intinya impor sapi bakalan yang masuk ke pelabuhan Indonesia dikenakan dan langsung membayar bea masuk sebesar 5% berdasarkan Permenkeu No.166 tahun 2011 dan menyetor 2,5% untuk pph pasal 22.
"Mencermati proses tersebut tidak ada kemungkinan penggelapan pajak karena sudah di ambil di depan oleh pemerintah melalui pemeriksaan yang ketat oleh Bea dan Cukai," tuturnya.
Menurutnya, ketatnya proses importasi sapi maka tidak mungkin bagi importir melakukan penipuan laporan barang karena sapi hidup tidak mungkin disembunyikan dan terlihat dengan jelas dan tidak dipacking. Justru yang ada kemungkinan restitusi jika pajak keuntungan usaha (pph Badan sebesar 25% dari PKP) pada akhir tahun hasilnya lebih kecil dari jumlah pajak yang sudah disetor didepan (pph pasal 22).
Diketahui, untuk 700 ribu ekor sapi bakalan yang diimpor dengan berat hidup rata-rata 300 kg dan harga beli sampai ditempat saat ini adalah sebesar Rp49.000 per kg hidup (CIF USD 3.4 +bea masuk 5% + EMKL Rp 1500) maka nilai impor lebih dari Rp 10 triliun, sehingga total pph pasal 22 yang ditarik Pemerintah di depan lebih dari Rp250 milyar.
Kegiatan lain yakni melakukan proses penggemukan sapi dan penjualan sapi gemuk.
Dari kegiatan tersebut, produk akhirnya adalah sapi gemuk atau siap potong yang dikenal sebagai usaha Feedlot. Sapi gemuk dengan berat rata-rata 450 kg dijual ke pengusaha pemotongan sapi yang produk akhirnya adalah daging sapi segar. Saat ini Pengusaha feedlot menjual sapi gemuk kepada pengusaha pemotongan sapi sekitar Rp42.000 per kg berat hidup.
Importir sapi bakalan dalam pemberitaan tersebut sering dirancukan dengan importir daging sapi beku yang melakukan usaha yang sama sekali berbeda. Importir daging beku hanya mengimpor daging beku dalam kontainer dan mendistribusikan kepada konsumen yang artinya tidak ada nilai tambah.
Apalagi sejak 2016, pemerintah juga memberikan izin khusus kepada Bulog untuk mengimpor daging kerbau beku. Hal ini mengakibatkan jumlah impor daging beku melonjak, sementara dari sisi pajak tidak ikut naik.
Selama Bulog mendapat izin khusus untuk mengimpor daging kerbau beku praktis jumlah impor baik daging sapi beku dan sapi bakalan menurun karena perbedaan harga yang terpaut sangat jauh.