Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan sejauh ini belum ada pabrik pasta ikan alias surimi yang bersedia mengimpor bahan baku sebagaimana diklaim pemerintah.
"Ditanyakan saja ke Pak Nilanto (Nilanto Perbowo, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan) siapa yang bersedia impor bahan baku surimi, terus di-cross check," ungkap Ketua AP5I Budhi Wibowo saat dihubungi, Minggu (19/2/2017).
Menurut dia, yang justru terjadi saat ini, pengusaha makanan berbasis surimi akan mengimpor daging ikan lumat itu karena kesulitan mendapatkan pasokan dari dalam negeri. Pabrik-pabrik tersebut selama ini mengolah surimi menjadi crab stick, bakso ikan, siomay, otak-otak, pempek, dan aneka makanan lain.
Budhi menuturkan pemilik pabrik surimi tidak sekadar menolak impor. Namun sejauh ini, belum ada ikan yang dapat diimpor, yang secara teknis dan ekonomis sesuai untuk pabrik surimi.
Sebelumnya, Dirjen Nilanto mengatakan sebagian pengusaha surimi bersedia mengimpor bahan baku setelah bersikukuh menolak. Menurut dia, beberapa pemilik pabrik secara lisan telah menerima opsi impor yang ditawarkan pemerintah setelah instansi itu mengajak pelaku usaha berdiskusi.
"Diajukan secara resmi masih belum. Tapi pada satu titik, mereka bilang, 'Ya sudah, Pak Nilanto, kalau begitu nanti saya akan mengajukan izin impor.' Meskipun izin itu belum kami proses karena surat resminya belum ada," ujarnya, Kamis (16/2/2017).
Dengan alasan belum ada permohonan impor secara formal itu pula yang membuat Nilanto tidak bersedia menyebutkan perusahaan mana yang menyatakan bersedia mengimpor bahan baku.
Dia menegaskan larangan cantrang sudah harga mati. Segala bentuk permintaan agar penggunaan alat penangkap ikan jenis pukat tarik itu diperbolehkan, tidak akan dikabulkan. KKP, kata dia, hanya akan mengajak pelaku usaha untuk bersama-sama mengkaji opsi pemenuhan bahan baku dari sumber lain.
"Kami sudah mempelajari semua kemungkinan agar industri surimi bisa beroperasi tanpa melihat ke belakang. Artinya, kebijakan selama ini yang sudah ditetapkan Bu Menteri (Menteri KP Susi Pudjiastuti) sudah tidak kita bicarakan (tidak bisa ditawar lagi)," ungkapnya.
Opsi yang mengerucut sejauh ini adalah impor ikan sebagai substitusi bahan baku yang selama ini diperoleh dari hasil tangkapan cantrang, seperti ikan kuniran, kurisi, swangi, bloso, kapasan, coklatan, dan gulamah.
Nilanto mengatakan ikan dari negara-negara subtropis memungkinkan untuk menjadi alternatif impor. Pemerintah juga membuka kemungkinan impor ikan hasil tangkapan cantrang dari negara tropis kendati di dalam negeri melarang alat tangkap itu.
"Soal tropical dan nontropical, saya ingin secepatnya kawan-kawan itu mengajukan. Saya sudah minta mereka mengajukan. Teman-teman itu (pelaku usaha) pasti tahu negara mana saja yang masih mengoperasikan bottom trawl, di tropical mana saja," ujarnya.
Selain impor, opsi menggunakan bahan baku lokal nontangkapan cantrang juga dipelajari. Menurut Nilanto, stok ikan hasil tangkapan pukat cincin (purse seine) dan jaring insang (gillnet) kini melimpah, terutama ikan-ikan yang kurang bernilai ekonomis. Ikan-ikan bernilai rendah itu biasanya tidak diangkut oleh operator kapal, selain karena keterbatasan kapasitas palka.
Ditanya seberapa banyak ikan jenis itu dan tersebar di mana saja, Nilanto menjawab, "Sekarang kami sedang tabulasi. Kami juga sedang konsentrasi dengan kawan-kawan operator penangkapan, ikan apa yang cocok," ujarnya.